PADA tulisan sebelumnya, penulis membahas pola pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.
Sebagian di antaranya berhasil memanfaatkan window of opportunity berupa bonus demografi yang disertai dengan peningkatan produktivitas. Namun, tidak sedikit yang justru terjebak dalam middle-income trap.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya window of opportunity ini dimanfaatkan? Langkah apa yang perlu dilakukan?
Bagaimana kondisi produktivitas Indonesia saat ini? Apakah Indonesia cukup mampu mengejar target ambisius, sebagaimana yang diharapkan oleh “para petinggi”, untuk menjadi Indonesia Emas 2045?
Pada 2012, McKinsey Global Institute (MGI) menerbitkan laporan berjudul “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential”.
Dalam laporan tersebut, MGI memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2030.
Baca artikel sebelumnya: Bonus Demografi atau Bonus Produktivitas? (Bagian I)
Meskipun saat ini tampaknya Indonesia tidak akan mencapai target tersebut, tetap terdapat capaian penting, yaitu pendapatan per kapita telah tumbuh sekitar 60 persen sejak saat itu, dan Indonesia kini telah masuk dalam kategori upper-middle income country.
Bulan lalu, MGI kembali merilis laporan terbaru berjudul “The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia’s Productivity”.
Dalam laporan ini, ditekankan bahwa untuk mewujudkan visi Indonesia Emas, negara ini perlu menciptakan kondisi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas dan memungkinkan perusahaan-perusahaan besar untuk memperdalam investasi di Indonesia.
Namun, fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Untuk dapat mencapai ambang pendapatan sebesar 14.000 dollar AS per kapita pada 2045, Indonesia perlu mempertahankan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (compound annual growth rate/CAGR) sebesar 5,4 persen.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan CAGR sejak tahun 2000 yang tercatat sebesar 4,9 persen.
MGI menyusun perhitungannya dengan mengacu pada pengalaman negara-negara lain sebagai benchmark. Metodologi yang digunakan mencakup setidaknya empat komponen utama.
Pertama, analisis terhadap pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Kedua, analisis mengenai ukuran perusahaan serta input-input yang digunakan.
Ketiga, kajian terhadap sektor-sektor ekonomi dan metrik pendukung (enabler metrics). Keempat, komparasi dengan negara-negara Asia sebagai pembanding.
Berdasarkan laporan tersebut, untuk mencapai negara maju pada 2045, produktivitas harus tumbuh setidaknya 1,6 kali dari kondisi sekarang.
Kontribusi dari perubahan demograsi/populasi hanya sekitar 0,5 persen poin terhadap pertumbuhan PDB.
Nilai ini lebih rendah dari pola pertumbuhan antara tahun 2000 hingga sekarang, sekitar 1,8 persen poin. Sedangkan pertumbuhan 4,9 persen poin adalah berasal dari peningkatan produktivitas.
Untuk mencapai skenario pertumbuhan 4,9 persen dari produktivitas, salah satu pendekatan yang dilakukan di berbagai kasus negara lain adalah meningkatkan laju capital deepening, yaitu peningkatan jumlah modal atau investasi per pekerja.