Kediaman Menteri Keuangan – Sri Mulyani Indrawati – diterobos secara ilegal (trespassing) oleh orang tidak dikenal pada Senin, 31 Agustus 2025 dini hari. Mereka ini juga melakukan penjarahan sebagai rentetan aksi serupa di beberapa rumah anggota DPR kontroversial.
Bu Ani merespon dengan sangat bijaksana atas kejadian yang dialaminya. Beliau menyatakan bahwa apabila ada kebijakan yang dirasa tidak puas oleh publik dan ada hak institusi yang dilanggar, maka jalurnya adalah Judicial Review, bukan dengan cara anarki dan intimidatif. Lantas, apa makna dibalik kejadian ini?
Rumah bagi setiap orang bukan hanya sekedar tempat tinggal. Rumah juga sarat dengan harga diri, kekuasaan dan kenangan.
Bagi orang Jawa, rumah mencerminkan martabat, kehormatan dan identitas pemiliknya. Maka, ketika orang lain memasuki rumah seseorang tanpa ijin maka sebenarnya mereka telah melukai harga diri dan kehormatan pemilik rumah.
Baca juga: Janji Pajak Tidak Naik, tapi Utang Baru Rp 781 Triliun Menanti
Pun, dalam hukum positif di Indonesia jelas disebutkan dalam Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan dapat dihukun penjara.
Definisi penjarahan adalah pengambilan barang milik orang lain secara beramai-ramai pada saat terjadinya kerusuhan.
Dalam KUHP, penjarahan masuk dalam tindak pidana pencurian bersama-sama dengan pengerusakan yang diancam penjara hingga 5 tahun lebih. Sehingga, penjarahan sebenarnya masuk kategori tindak pidana serius karena melukai rasa aman masyarakat.
Oleh karena itu, Pihak Kepolisian harus mengusut tuntas tindak pidana ini, agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Selain itu, seorang menteri adalah pejabat negara yang mendapat perlindungan hukum khusus. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan Menteri mendapatkan fasilitas perlindungan protokoler dan pengamanan negara.
Apabila merusak atau mencuri harta benda seorang menteri akan dijerat bukan hanya pidana biasa namun dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merendahkan martabat negara.
Tentunya miris kejadian tersebut terjadi, terutama apabila niat penjarahan tersebut karena munculnya disinformasi yang beredar di publik.
Patut diduga penyebabnya karena informasi hoax soal guru adalah beban dan penyamaan zakat dengan pajak. Padahal, berita tersebut telah dibantah dalam berbagai kanal milik Kementerian Keuangan.
Dus, dikuatirkan, masyarakat umum hanya tahu bahwa pajak semuanya dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Padahal, jenis pajak sangatlah bervariasi termasuk pihak pengelolanya, apakah Ditjen Pajak atau Pemerintah Daerah (Pemda).
Ketika ada polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau Pajak Kendaran Bermotor (PKB), masih aja publik menyangka pengelolaanya ada di Ditjen Pajak, padahal pajak-pajak tersebut milik Pemda.
Ketika penjarahan terjadi di rumah Bu Ani, secara reflek membuka memori saya mengenai beliau. Setidaknya mengenai sepak terjang beliau dalam meletakkan fondasi modernisasi perpajakan di Indonesia.