JAKARTA, KOMPAS.com – Aktivis HAM sekaligus istri almarhum Munir Said Thalib, Suciwati, menegaskan bahwa kasus kematian Munir hingga kini belum menemukan kepastian meski sudah berlangsung lebih dari dua dekade.
“September ini (kasus Munir) 21 tahun, kemarin saya WA (WhatsApp) ketua Komnasnya yang sedang proses projustisia,” kata Suciwati, di Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Ia menilai, kematian Munir seharusnya ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
“Saya berharap bahwa kasusnya akan semakin kuat untuk menyatakan bahwa memang kasus Munir adalah kasus pelanggaran HAM berat,” kata dia.
Baca juga: Istri Munir Sebut Tak Dihubungi Ketika Ada Rencana Penulisan Ulang Sejarah
“Karena jelas kok itu yang melakukan sistemik. Kemudian juga lembaga negara terkait dalam kasus pembunuhannya. Dan itu tidak perlu harus jumlah angka orang yang terlibat, yang menjadi korban. Tapi, itu bagaimana negara membunuh warganya dan itu tersistematik,” sambung dia.
Suciwati mengaku tidak pernah menaruh harapan besar kepada Komnas HAM atau individu tertentu, melainkan pada gerakan masyarakat sipil.
“Saya tidak pernah menaruh pada orang. Jadi, pada satu gerakan masyarakat sipil yang selalu saya harapkan,” ucap dia.
Ia menilai, masyarakat masih memiliki kesadaran kritis untuk memperjuangkan kebenaran, meski di sisi lain tetap menghadapi fitnah dan represi.
“Mereka organik dan mereka tidak perlu difitnah. Ya, tapi fitnah ada ya selalu. Kita tidak mau dengar karena kita jelas kok itu melihat bagaimana organiknya mereka untuk berjuang. Dan menyatakan bahwa kita harus memecat orang yang arogan, orang yang tirani,” kata Suciwati.
Ia juga mengingatkan bahwa perjuangan mencari keadilan tidak boleh berhenti meskipun kekuasaan dianggap sering menutup mata.
Baca juga: Istri Munir: Penulisan Ulang Sejarah Hanya untuk Cuci bersih Pelanggaran HAM
“Ini kan seperti api dalam sekam ya. Jadi, kalau para penguasa jahat ini terus menerus berbuat, ini kan sudah banyak hal yang blunder ya. Jadi, silakan saja membuat hal yang blunder dan masyarakat kita akan semakin mengelola,” kata dia.
Ia menyebut, aksi-aksi masyarakat sipil, seperti Aksi Kamisan, tetap konsisten menyuarakan kasus pelanggaran HAM meski menghadapi represi di berbagai daerah.
“Di Aksi Kamisan kita sudah melakukan itu. Di ruang banyak hal dan Aksi Kamisan sudah hampir 70 kota yang mereka juga melakukan hal yang sama di setiap kota. Dan mereka juga mendapatkan represi yang sama,” ujar Suciwati.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini