KOMPAS.com — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah melakukan kajian efisiensi subsidi transportasi akibat berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat.
Meski begitu, tarif Moda Raya Terpadu (MRT) dan Lintas Rel Terpadu (LRT) tidak akan mengalami kenaikan.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menegaskan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan hasil kajian terhadap willingness to pay (kesediaan membayar) dan ability to pay (kemampuan membayar) masyarakat.
Baca juga: Subsidi Dipangkas, Tarif MRT dan LRT Aman tapi Transjakarta Bisa Naik
Hasil kajian menunjukkan bahwa tarif yang berlaku saat ini masih sesuai dengan kemampuan ekonomi warga Jakarta.
“Saya pastikan tarif MRT dan LRT tidak naik. Kajian menunjukkan tarif saat ini masih dalam batas kemampuan membayar masyarakat,” ujar Syafrin dilansir dari Antara, Jumat (10/10/2025).
Syafrin menjelaskan bahwa dari sisi keekonomian, tarif MRT seharusnya mencapai sekitar Rp 13.000 per perjalanan.
Namun, pengguna hanya membayar Rp7.000, sehingga terdapat subsidi rata-rata Rp 6.000 per penumpang pada 2024.
Angka tersebut, menurutnya, masih sesuai dengan skema subsidi transportasi yang telah ditetapkan pemerintah daerah.
Ilustrasi LRT (Light Rail Transit) atau Lintas Rail Terpadu Jabodebek (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi).
Sementara itu, untuk Transjakarta, tarifnya masih bertahan di angka Rp3.500 sejak tahun 2005.
Padahal, selama dua dekade terakhir, Upah Minimum Provinsi (UMP) meningkat enam kali lipat dan inflasi kumulatif mencapai 186,7 persen.
“Cost recovery Transjakarta turun dari 34 persen pada 2015 menjadi 14 persen saat ini. Artinya biaya operasional yang bisa ditutup dari tarif penumpang makin kecil,” jelas Syafrin.
Baca juga: 5 Tempat Wisata Sekitar Stasiun LRT Dukuh Atas, Ramah Pejalan Kaki
Menurutnya, penyesuaian tarif Transjakarta perlu dikaji untuk menjaga keberlanjutan layanan, namun angka pastinya masih dalam proses pembahasan.
Direktur Utama PT MRT Jakarta, Tuhiyat, menambahkan bahwa nilai keekonomian untuk perjalanan Bundaran HI—Lebak Bulus sebenarnya mencapai Rp 32.000 per penumpang.
Namun tarif yang dibayarkan hanya Rp 14.000, sehingga selisih Rp 18.000 ditanggung pemerintah melalui Public Service Obligation (PSO) atau subsidi layanan publik.
“Agar perusahaan tetap berkelanjutan, kami mengembangkan pendapatan dari sektor non-farebox,” ujarnya.