Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Dirgantara
Peneliti Hukum dan Direktur PT. Gajah Mada Analitika

Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

Arah Baru Keberpihakan dan Keadilan Pendidikan

Kompas.com - 28/05/2025, 14:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), gema yang terdengar bukan koreksi norma hukum belaka.

Putusan No. 3/PUU-XXII/2024 tersebut sinyal penting: negara harus kembali meneguhkan keberpihakan terhadap kelompok paling rentan dalam sistem pendidikan.

Hal demikian beralasan karena di balik norma yang selama ini tampak netral, justru tersembunyi diskriminasi struktural yang melukai semangat konstitusi. Situasi yang acap kali terjadi, tapi kerap pula tidak disadari.

Frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sejatinya menjadi sumber ketimpangan tersembunyi. Sebab dalam praktiknya, prinsip pembebasan biaya ini hanya diterapkan di sekolah negeri.

Baca juga: Pendidikan Gratis Bagian dari Hak Asasi Manusia

Sekolah swasta—yang dalam banyak kasus justru menjadi satu-satunya pilihan bagi anak-anak dari keluarga miskin akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri—tetap diperkenankan memungut biaya.

Ujungnya, akses terhadap pendidikan dasar yang seharusnya gratis bagi semua warga negara menjadi tidak setara.

Dalam putusannya, MK menegaskan: pendidikan dasar secara cuma-cuma merupakan bagian dari hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Dalam pertimbangannya, MK merujuk pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.

Kovenan itu diketahui menyatakan: pendidikan dasar wajib dan harus disediakan secara cuma-cuma bagi semua orang.

MK menyadari adanya kesenjangan antara teks dan praktik. Secara tekstual, Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas memang tidak menyebutkan pembatasan hanya pada sekolah negeri.

Sayangnya, dalam praktiknya hanya peserta didik di sekolah negeri yang menerima manfaat pembebasan biaya.

Tak ayal, MK menilai bahwa kondisi ini menimbulkan multitafsir dan menghambat pemenuhan hak konstitusional atas pendidikan dasar. Sampai di sini, ‘gelar penjaga konstitusi’ yang tersemat kembali diuji.

Dengan menggunakan teori interpretasi konstitusional, MK menerapkan interpretasi ekstensif terhadap makna “tanpa memungut biaya” sehingga berlaku pula pada peserta didik di sekolah swasta.

Ini langkah penting yang menempatkan prinsip kesetaraan (equality before the law) dan non-diskriminasi sebagai rujukan utama dalam pembacaan konstitusi.

Baca juga: Optimisme dari Luka: Paradoks Harapan dan Kecemasan Rakyat Indonesia

Menariknya, MK secara sadar menggeser paradigma normatif menuju pendekatan konstitusional yang lebih responsif terhadap persoalan sosial yang aktual (Asshiddiqie, 2006).

Halaman Berikutnya
Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau