Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Korupsi Proyek Digitalisasi Pendidikan Rp 9,9 Triliun

Kompas.com - 03/06/2025, 14:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI ini kita dihadapkan kembali dengan ironi pendidikan di negeri ini. Ironi yang lahir dari wajah kebijakan pendidikan yang selama ini lebih menekankan pendekatan populis ketimbang pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy).

Narasi-narasi bombastis seperti “digitalisasi pendidikan”, “transformasi sistem pembelajaran”, hingga jargon-jargon populis yang kerap dijual tanpa kesiapan sistemik, kajian teknokratik, transparansi, dan pengawasan yang berkualitas.

Hasilnya, bukan hanya efektivitas program yang dipertaruhkan, tetapi juga integritas institusi yang hancur pelan-pelan.

Selama ini, jebakan kebijakan populis dalam sektor pendidikan acap kali melahirkan solusi instan yang tidak menyentuh akar permasalahan.

Alih-alih menjadi jembatan keluar dari kemiskinan, pendidikan yang seharusnya menjadi motor penggerak mobilitas sosial justru menjadi lahan empuk “praktik rente” dan penyalahgunaan kewenangan.

Seperti yang pernah diucapkan Lord Acton: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”. Kebijakan yang diselimuti jargon-jargon kebaikan publik, tapi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat, rentan terjerumus ke dalam pusaran korupsi yang terselubung dan teregulasi.

Baca juga: Pengadaannya Diusut Kejagung, Laptop Chromebook Sudah Tersebar ke Daerah

Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop digitalisasi pendidikan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi preseden baru yang mencoreng wajah dunia pendidikan nasional.

Kejaksaan Agung kini tengah mengusut proyek besar ini yang menggunakan anggaran negara sebesar Rp 9,9 triliun untuk pengadaan laptop berbasis Chromebook dalam kurun waktu 2019–2022.

Laptop-laptop tersebut diklaim telah tersebar di sejumlah satuan pendidikan, termasuk hingga ke daerah-daerah.

Namun, alokasi anggaran sebesar itu patut menjadi perhatian publik. Sebagaimana diungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, dana pengadaan tersebut terdiri dari dua komponen besar: dana untuk satuan pendidikan sebesar Rp 3,582 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik sebesar Rp 6,399 triliun.

Realisasi dana tersebut tersebar di banyak daerah, dan secara teknis menggambarkan keterlibatan berlapis dari pemerintah pusat hingga daerah dalam proyek ini.

Korupsi atas nama digitalisasi

Saya pribadi cukup menjerit melihat keadaan ini. Program yang dikemas dengan nama “digitalisasi pendidikan” kini justru menjadi pintu masuk bagi dugaan praktik korupsi yang nilainya sangat besar.

Bayangkan, Rp 9,9 triliun uang yang seharusnya bisa menyelamatkan jutaan anak bangsa untuk mengakses pendidikan yang layak, meningkatkan kesejahteraan guru yang hingga kini masih tertatih, serta membangun infrastruktur pendidikan di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) malah dibelanjakan dalam skema yang berujung pada investigasi penyelewengan.

Kalau kita melihat dari sisi waktu, proyek pengadaan laptop berbasis Chromebook ini dilaksanakan pada rentang 2019 hingga 2022, periode yang bersinggungan langsung dengan masa pandemi COVID-19.

Dalam kondisi krisis global yang memaksa sistem pendidikan bertransformasi secara drastis, pemerintah mendorong digitalisasi sebagai solusi.

Baca juga: Plus Minus bagi Indonesia bila Mengakui Negara Israel

 

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau