GAZA, KOMPAS.com - Dokter bedah asal Oxford, Inggris, Dr. Nick Maynard, telah menghabiskan 15 tahun terakhir bolak-balik ke Gaza.
Ia melatih para dokter muda dan membimbing ahli bedah lokal, termasuk seorang perempuan Palestina yang kini sudah menjadi dokter di Inggris dan dianggapnya sebagai keluarga.
Namun, sejak perang Israel-Hamas pecah pada Oktober 2023, misinya berubah drastis.
Baca juga: Dulu Siswi Berprestasi di Gaza Bercita-cita Jadi Dokter, Kini Sarah Hanya Ingin Bertahan Hidup
Dalam kunjungannya kali ini, Maynard tak hanya memberikan pelatihan, tetapi juga terjun langsung menangani operasi darurat di tengah suara tembakan, merawat anak-anak yang kekurangan gizi, hingga membantu pasien trauma dengan luka serius.
Berbicara kepada NPR dari Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, salah satu rumah sakit utama di Gaza, Maynard menggambarkan kondisi yang memilukan.
"Sistem kesehatan benar-benar kolaps," ujarnya.
Ia bercerita bagaimana rumah sakit kekurangan pasokan, bayi-bayi meninggal akibat kelaparan, dan anak-anak kerap menjadi sasaran tembakan saat mencoba mengambil makanan di titik distribusi.
Suara tembakan yang terdengar di luar rumah sakit, menurutnya, bukanlah tembakan acak, dalam perang di Gaza tersebut.
"Kejadian ini sangat sering terjadi pada remaja laki-laki, biasanya berusia 11 sampai 14 tahun, yang ditembak di titik distribusi makanan. Kami telah menyaksikan ini berulang kali selama beberapa minggu terakhir," kata Maynard, dikutip NPR, Senin (21/7/2025).
Baca juga: 67 Warga Gaza Tewas Saat Menunggu Bantuan, Paus Leo dan Trump Kecam Serangan
Di sisi lain, militer Israel atau Israel Defense Forces (IDF) membantah tuduhan sengaja menargetkan warga sipil.
Kepada NPR, IDF menyatakan dengan tegas bahwa mereka melarang pasukan melakukan kekerasan terhadap individu, apalagi menembaki anak-anak. IDF juga menyebut insiden di lokasi distribusi bantuan sedang diselidiki.
Meski begitu, kelompok-kelompok bantuan dan pejabat kesehatan melaporkan, insiden mematikan di Gaza makin sering terjadi, terutama sejak Mei 2025, seiring memburuknya kelaparan yang memaksa warga sipil mengantre bantuan di dekat pasukan Israel.
Maynard mengungkapkan, ia dan tim medis melihat pola cedera yang mencurigakan.
"Ada hari-hari kami hanya menerima pasien dengan luka tembak di kepala, lalu hari berikutnya di perut. Itu menimbulkan pertanyaan soal niat di balik penembakan ini," katanya.
"Pengelompokan cedera seperti inilah yang membuatnya begitu dramatis. Dan kami, mulai dari dokter UGD, ahli bedah umum, ahli urologi, hingga ahli bedah saraf, menyadari pola ini," tambahnya.
Menurut Maynard, sebagian besar pasien yang dirawat mengalami malnutrisi berat, sehingga tubuh mereka jauh lebih sulit pulih, bahkan dari luka yang biasanya dapat disembuhkan.
Baca juga: Warga Gaza Dipaksa Evakuasi Lagi, Israel Klaim Bakal Serang Wilayah yang Belum Pernah Dijamah
Ia pun menyimpulkan bahwa kehancuran yang terjadi bukan sekadar dampak perang, melainkan sesuatu yang direncanakan.
"Saya pikir apa yang kita saksikan adalah rencana yang sangat disengaja untuk menghapus penduduk Gaza dari tanah ini," ucapnya.
Saat dimintai tanggapan soal tuduhan penghancuran infrastruktur sipil Gaza dan dugaan pembersihan etnis, IDF merujuk NPR kepada pemerintah Israel. Namun, pemerintah Israel mengarahkan kembali pertanyaan tersebut ke IDF.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini