KOMPAS.com – Peredaran beras oplosan di pasaran kian mengkhawatirkan. Praktik curang ini tidak hanya merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.
Pakar Teknologi Industri Pertanian dari IPB University, Prof Tajuddin Bantacut, mengimbau masyarakat agar lebih cermat saat membeli beras.
Ia membeberkan sejumlah ciri-ciri beras oplosan yang dapat dikenali secara kasat mata oleh konsumen.
“Jika menemukan nasi yang berbeda dari biasanya seperti warna, bau (aroma), tekstur dan butiran, maka dapat dicurigai sebagai beras yang telah dioplos, dalam arti terdapat kerusakan mutu atau keberadaan benda asing,” ujar Prof Tajuddin dalam wawancara daring pada Rabu (10/7/2025) dikutip dari ipb.ac.id
Baca juga: Mentan Amran Segera Umumkan 212 Merek Beras Oplosan
Menurutnya, beras oplosan umumnya memiliki warna butiran yang tidak seragam, ukuran butir berbeda-beda, dan tekstur nasi menjadi lembek setelah dimasak.
Dalam beberapa kasus, beras oplosan juga dicampur dengan bahan tambahan asing, termasuk zat pewarna atau pengawet berbahaya, yang jika dikonsumsi dalam jangka panjang dapat membahayakan kesehatan tubuh.
“Hindari membeli beras tanpa label atau dari sumber yang tidak jelas. Cuci beras sebelum dimasak dan waspadai bila ada benda asing yang mengambang,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof Tajuddin menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis beras yang kerap dikaitkan dengan praktik oplosan:
1. Beras campuran dengan bahan lain, seperti jagung. Jenis ini biasanya ditemukan di beberapa daerah dan dibuat untuk menurunkan harga produksi.
2. Beras blended, yakni campuran dari beberapa jenis beras berbeda. Tujuannya adalah untuk memperbaiki rasa dan tekstur, namun kualitasnya belum tentu baik.
3. Beras rusak yang dipoles ulang, yaitu beras dengan kondisi fisik atau mutu sudah menurun, kemudian dikilapkan kembali agar tampak bagus di mata konsumen.
Baca juga: Beras Oplosan Bisa Timbulkan Risiko Kesehatan hingga Rugi Rp 99 Triliun
Jenis ini paling berbahaya karena biasanya telah mengalami kerusakan fisik, kimiawi, atau bahkan kontaminasi mikrobiologis.
“Beras yang rusak bisa dipoles ulang. Namun jika kerusakannya sudah parah—baik secara fisik, kimiawi, maupun mikrobiologis—maka tidak layak dikonsumsi. Terlebih apabila mengandung bahan kimia atau pengawet, bisa berbahaya untuk kesehatan,“ jelasnya.
Prof Tajuddin juga mengingatkan soal daya simpan beras. Ia menyebut bahwa idealnya beras hanya disimpan maksimal enam bulan agar kualitasnya tetap terjaga.
Meskipun beras disimpan di tempat yang terkendali, kualitasnya tetap bisa menurun akibat faktor lingkungan, serangan hama, atau pertumbuhan mikroorganisme.