KOMPAS.com - Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi pengingat pentingnya konstruksi sesuai ketentuan, salah satunya dengan kepemilikan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Pasalnya, ponpes tersebut diketahui tidak memiliki PBG, yang sebelumnya dikenal sebagai Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan standar teknis. Standar teknis merupakan ketentuan yang harus dipenuhi mulai dari fase perencanaan hingga bangunan akan dibongkar.
Baca juga: AHY Bakal Tertibkan Infrastruktur yang Tak Punya Izin Bangunan
Namun, Ponpes Al Khoziny bukan satu-satunya ponpes di Indonesia yang tidak memiliki PBG.
Menurut Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo, hanya 50 ponpes di seluruh Indonesia yang telah mengantongi PBG.
"Di seluruh Indonesia Raya hanya 50 ponpes yang memiliki izin mendirikan bangunan, yang lain belum," ungkap Dody, Minggu (5/10/2025).
Sementara berdasarkan data terbaru Kementerian Agama (Kemenag) pada 2024/2025, ada 42.433 ponpes aktif di Indonesia.
Sehingga jika dikalkulasi dengan data yang diungkapkan Dody, dapat disimpulkan bahwa jumlah ponpes di Indonesia yang memiliki PBG hanya sekitar 0,12 persen.
Lanjut Dody mengenai data tersebut, PBG untuk Ponpes harus melibatkan koordinasi antara Pemerintah Daerah (Pemda), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kemenag.
"Kalau sudah selesai (tanggap darurat), kita akan duduk bersama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mensosialisasikan kepada Pemda dan seluruh Ponpes-Ponpes perlunya PBG, harus sertifikasi laik bangunan," janji Dody.
Baca juga: Emil Dardak Fokus Penanganan Korban Ketimbang PBG Ponpes Al Khoziny
Sementara itu, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Taufik Widjojono, menegaskan bahwa keruntuhan bangunan tidak pernah terjadi tiba-tiba.
Ada proses sistematis yang mengawali kegagalan konstruksi, mulai dari perancangan hingga pengoperasian, meliputi:
Taufik menekankan bahwa dalam setiap tahapan konstruksi, desain, penetapan penyedia jasa, pelaksanaan, hingga pemeliharaan, harus ada penanggung jawab yang jelas dengan hubungan tanggung jawab dan kewenangan yang terdefinisi, karena di setiap tahap selalu ada risiko kegagalan.
Sebelum pembangunan dimulai, pemilik jasa (dalam hal ini Ponpes) wajib memastikan penyedia jasa (konsultan atau individu) memiliki Sertifikat Kompetensi Konstruksi (SKK) dan perusahaannya memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang disyaratkan.
Tahap awal pembangunan wajib dimulai dengan PBG yang diberikan oleh Pemda.