JAKARTA, KOMPAS.com - Dunia bisnis Indonesia kehilangan salah satu tokoh konglomerat properti paling berpengaruh, The Ning King.
Berita duka ini dikonfirmasi oleh Wakil Ketua Umum Apindo Sanny Iskandar.
"Ya benar, The Ning King meninggal dunia di Singapura," ujar Sanny kepada Kompas.com, Minggu (2/11/2025).
Baca juga: Sepenggal Cerita di Balik Patung Garuda Wisnu Kencana
The Ning King tutup usia di Singapura pada usia 94 tahun. Pendiri Kota Alam Sutera ini tercatat lahir pada 20 April 1931.
The Ning King meninggalkan istrinya tercinta, Lie Ang Sioe Nio, serta warisan bisnis raksasa di bawah payung Argo Manunggal Group.
Perjalanan kariernya yang hampir tujuh dekade mencakup transformasi luar biasa dalam lanskap ekonomi Indonesia.
Dari titik awal sebagai produsen benang dan kain di Jawa Tengah, The Ning King bertransformasi menjadi arsitek pembangunan urban yang mengubah kawasan suburban Jakarta.
Meskipun memiliki nama yang terkesan ningrat, The Ning King, sumber kekayaannya sepenuhnya berasal dari hasil kerja keras dan kecerdasan bisnis.
"The" adalah nama keluarganya, dan julukan yang lebih tepat untuknya adalah "Corporate Aristocrat".
Ungkapan ini sangat signifikan karena memperkuat narasi tentang seorang self-made man yang membangun kerajaan bisnisnya melalui diversifikasi strategis dan manajemen risiko yang ketat, bukan melalui hak keturunan.
Baca juga: Rahasia Alam Sutera Bikin Gen Z Terpincut Hunian Rp 600 Jutaan
Ketajaman dan keberanian The Ning King untuk beralih jalur bisnis, dari sektor manufaktur dasar ke properti terintegrasi dan pariwisata, menjelaskan mengapa kisah warisannya jauh lebih penting daripada sekadar kabar duka.
Dialah arsitek di balik kesuksesan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), yang tidak hanya membangun perumahan, tetapi juga menciptakan ekosistem hidup yang lengkap, serta meninggalkan jejak budaya monumental melalui Taman Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali.
Kisah The Ning King dimulai di Bandung, tempat kelahiran pada tahun 1931. Lebih dari dua dekade setelah ayahnya beremigrasi dari Fujian, China, The Ning King memutuskan untuk pindah ke Jakarta pada usia 17 tahun, di mana ayahnya telah membuka toko tekstil.
Setelah menimba ilmu bisnis dari ayahnya, dia menunjukkan ambisi yang lebih besar, memimpinnya untuk membuka pabrik tekstil pertamanya di Salatiga, Jawa Tengah, pada tahun 1961.
Bisnis tekstil ini berkembang pesat. The Ning King menambah sejumlah pabrik di berbagai lokasi di Jawa, menguasai seluruh jaringan produksi mulai dari benang hingga kain, yang digunakan untuk pakaian, kantong tidur, hingga tenda.
Baca juga: Tak Perlu Jauh-jauh ke Singapura, Ada Surga Belanja di Alam Sutera