KOMPAS.com - Di Taman Nasional Way Kambas, dua anjing pelacak bernama Yagi dan Quinn menemukan kotoran yang diduga berasal dari badak sumatra liar—spesies yang selama ini dianggap sudah punah di kawasan itu.
Yagi, seekor labrador retriever hitam penuh energi, dan Quinn, cocker spaniel betina yang sejak kecil dilatih sebagai anjing pelacak, mungkin baru saja membuat penemuan besar. Keduanya mendeteksi kotoran (scat) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, yang diduga kuat berasal dari badak sumatra liar—salah satu hewan paling terancam punah di dunia.
Selama bertahun-tahun, para peneliti percaya bahwa badak sumatra telah menghilang dari Way Kambas karena tidak ada satu pun bukti keberadaan mereka. Padahal, populasi badak sumatra di alam liar saat ini diperkirakan hanya tersisa 34 hingga 47 individu.
“Sejujurnya, saya percaya pada anjing-anjing itu,” kata Nina Fascione, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation. “Mereka dilatih dengan kotoran badak, dan apa yang mereka temukan dipercaya semua orang adalah kotoran badak. Ini kabar baik.”
Baca juga: Seekor Bayi Badak Sumatera Lahir di Taman Nasional Way Kambas
Misi ini berawal dari kerja sama antara Working Dogs for Conservation (WD4C), sebuah organisasi nonprofit berbasis di Montana, dengan International Rhino Foundation, Yayasan Badak Indonesia, dan Kementerian Kehutanan Indonesia.
Sebelum diterjunkan ke lapangan, Yagi dan Quinn berlatih mendeteksi bau badak dengan menggunakan kotoran dari sepuluh badak di Sumatran Rhino Sanctuary yang berada di dalam kawasan Way Kambas. Mereka mengenali aroma dari badak jantan, betina, hingga anakan.
Begitu tiba di hutan Sumatra, tantangan baru menanti. Rimba tropis dengan kelembaban tinggi, suara satwa liar, dan ribuan aroma asing menjadi arena pelatihan tambahan bagi Yagi dan Quinn. Menurut WD4C, setiap hari mereka berjalan menelusuri hutan, sembari “menyaksikan monyet-monyet ekor panjang (macaque) bergelantungan di sore hari.”
Hasilnya cepat terlihat. Di hari kedua pencarian, Yagi menemukan tumpukan kotoran yang mencurigakan. Tak lama setelah itu, Quinn juga menunjukkan perubahan perilaku yang menandakan keberadaan badak di sekitar area tersebut.
Baca juga: Badak Sumatera dan Badak Jawa, 2 Jenis Badak Indonesia yang Terancam Punah
Tes DNA awal mengindikasikan kotoran tersebut memang milik badak sumatra. Untuk memastikan, pemerintah Indonesia sedang melakukan dua uji lanjutan. Jika terbukti benar, setidaknya ada satu badak sumatra liar yang masih berkeliaran di Way Kambas.
Bagi konservasi, ini adalah kabar besar. Kehadiran seekor badak saja dapat memberi peluang menambah keragaman genetik pada populasi badak di penangkaran. Jika ditemukan, individu tersebut kemungkinan akan ditangkap untuk program perkembangbiakan di Sumatran Rhino Sanctuary.
“Saya tidak pernah sebahagia ini ketika salah menilai sesuatu,” ungkap Fascione. “Saya yakin tidak ada badak liar yang tersisa di Way Kambas, tapi ternyata masih ada yang bersembunyi. Harapan saya, ada lebih banyak lagi badak-badak itu di tempat lain.”
Baca juga: Bayi Badak Sumatera Lahir, Kenapa Masa Kehamilan Badak Bisa Sangat Lama?
Bukan hal aneh jika Yagi dan Quinn berhasil. Jika manusia hanya memiliki sekitar 5 juta reseptor penciuman, anjing memiliki 220 juta reseptor. Hidung mereka mampu mendeteksi satu sendok teh gula dalam sejuta galon air.
“Kalau kita mengalami dunia melalui mata, anjing merasakannya lewat ‘peta aroma’ yang sangat detail,” tulis Working Dogs for Conservation.
Organisasi ini sudah mengerahkan anjing pelacak untuk berbagai misi, mulai dari melacak perburuan ilegal di Zambia, mencari tanaman invasif di Wyoming, hingga memantau populasi hewan langka seperti ferret berkaki hitam di Amerika.
“Saat melihat rompi kerja merah mereka, anjing-anjing ini begitu bersemangat. Mereka benar-benar menikmati pekerjaan ini,” kata Breanne Black, koordinator WD4C.
View this post on Instagram
Jika kabar ini terkonfirmasi, maka Way Kambas kembali menjadi rumah bagi salah satu makhluk paling purba di bumi. Badak sumatra adalah kerabat terdekat badak berbulu (woolly rhinoceros) yang telah punah. Menemukan mereka di alam liar bukan hanya tentang menyelamatkan satu spesies, tapi juga menjaga sejarah evolusi.
Misi Yagi dan Quinn membuktikan bahwa terkadang, harapan besar bisa datang dari hidung seekor anjing.
Baca juga: Kisah Badak Sumatera Berjuang dari Kepunahan Selama 10.000 Tahun
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini