KOMPAS.com - Indeks Optimisme Indonesia mengalami penurunan dengan skor 5,51 pada 2025 dari sebelumnya 7,77 pada 2023.
Hal tersebut tercermin dalam hasil survei yang dilakukan GoodNews From Indonesia (GNFI) bersama GoodStats yang dilakukan pada 3 Juni-3 Juli 2025.
Survei tersebut melibatkan 1.020 responden yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sumatera (21,2 persen), Jawa (61,5 persen), Kalimantan (5,8 persen), Sulawesi-Papua (7,3 persen), dan Bali-Nusa Tenggara (4,2 persen).
Responden berasal dari beragam latar belakang demografis dengan mayoritas perempuan (58,1 persen) dan didominasi oleh kelompok usia 17–35 tahun (76,8 persen).
GNFI dan GoodStats mengumpulkan data menggunakan dua metode utama, yakni survei online dan Forum Group Discussion (FGD).
Pengukuran menggunakan skala Likert 1-10 dengan interpretasi skor dibagi ke dalam kategori "sangat pesimis" (1-2), "pesimis" (3-4), "netral" (5-6), "optimis" (7-8), dan "sangat optimis" (9-10).
Baca juga: Menilik Optimisme Generasi Muda dalam Politik Melalui Debat Kompetitif
Menurut temuan GNFI dan GoodStats, skor 5,51 pada Indeks Optimisme 2025 masuk kategori “netral” padahal sebelumnya berada pada kelompok “optimis” pada 2023.
Kondisi tersebut menunjukkan situasi ketika ada keinginan untuk tetap optimisme atau merawat harapan dalam menatap masa depan, namun pada saat yang bersamaan dibayangi oleh kekhawatiran dan ketidakyakinan.
Penurunan indeks dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti gejolak ekonomi berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) dan inflasi, dinamika politik, serta dampak konflik global.
Beberapa temuan kunci yang berkontribusi terhadap penurunan Indeks Optimisme 2025 adalah 67,6 persen responden yang menyaksikan atau mengalami PHK dalam enam bulan terakhir
55,8 persen responden yang disurvei juga merasakan kenaikan harga kebutuhan pokok sangat signifikan.
Sementara itu, 33,8 persen responden mengaku pendapatan rumah tangga mereka menurun.
“Meskipun demikian, skor 5,51 persen bukanlah pesimisme total, tetapi mencerminkan optimisme yang tertahan,” tulis GNFI dan GoodStats dalam surveinya.
“Masyarakat ingin percaya masa depan bisa lebih baik, tetapi realitas sehari-hari—seperti PHK, tekanan kebutuhan sehari-hari, perilaku politik praktis yang sering membuat prihatin, dan ketidakpastian global—membuat harapan agak sulit dipertahankan,” tambahnya.
Baca juga: Optimisme Imlek
GNFI dan GoodStats juga mendapati temuan bahwa generasi muda berusia 17-25 tahun menjadi kelompok paling pesimis dengan skor 5,45.