KOMPAS.com - Warga di berbagai daerah ramai-ramai mengeluhkan kenaikan signifikan Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Diketahui, keluhan ini mulai menyita perhatian publik sejak Bupati Pati Sudewo mengumumkan rencananya menaikkan PBB hingga 250 persen.
Namun, rencana tersebut dibatalkan setelah menerima penolakan keras dari warga.
Sementara itu, sejumlah warga di Jombang dan dan Cirebon mengaku resah dengan kenaikan PBB hingga 1000 persen.
Kenaikan PBB juga dilaporkan di banyak daerah lainnya dengan persentasi yang bervariasi.
Lantas, kenapa pemerintah daerah kini ramai-ramai menaikkan PBB?
Baca juga: Jika PBB-P2 di Pati Naik 250 Persen, Ini Perhitungan Pajak yang Mesti Dibayar Warga
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, upaya menaikkan PBB secara masif menandai adanya kesulitan fiskal yang dialami pemerintah daerah.
Salah satu penyebabnya adalah nilai transfer dari pemerintah pusat yang kurang memadai.
Padahal, pemerintah daerah tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan inovasi sumber penerimaan asli daerah (PAD).
Dia pun menyoroti draft RAPBN 2026 yang sudah disepakati oleh panitia kerja (panja) DPR.
"(Dalam draft RAPBN 2026) proporsi transfer daerah justru akan dikurangi, dari 3,77 persen dari PDB, menjadi hanya 2,78 sampai 2,89 persen saja," kata Wijayanto saat diihubungi Kompas.com, Jumat (15/8/2025).
Menurutnya, hal itu akan menambah tekanan pada daerah, sehingga menghadapi situasi yang makin sulit.
Atas kondisi itu, upaya seperti menaikkan PBB secara masif bisa jadi akan semakin marak di banyak daerah.
Baca juga: Apa Itu PBB-P2 dan Bagaimana Cara Menghitungnya?
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyoroti gejolak di Pati yang diperkirakan menjadi fenomena gunung es.
"Protes kenaikan pajak daerah akan melonjak signifikan sebelum tutup tahun 2026," ujarnya, saat dihubungi secara terpisah, Jumat (15/8/2025).