KOMPAS.com - Banyak orang mengira, tokoh-tokoh jenius seperti Albert Einstein dan Leonardo da Vinci memiliki kecerdasan yang luar biasa karena IQ-nya yang tinggi.
Intelligent Quotient (IQ) merupakan kemampuan penalaran seseorang yang sering kali dianggap bawaan lahir.
Albert Einstein yang diperkirakan memiliki IQ 160 dan pelukis da Vinci dengan IQ 200 sampai 300, dikutip dari USA Today.
IQ tinggi kerap dicap menjadi satu-satunya faktor di balik pencapaian-pencapaian mereka.
Dalam teorinya, Psikolog Françoys Gagne mengupas tiga hal yang mendasari kecerdasan atau keberhasilan Einstein selain IQ-nya.
Baca juga: 11 Hal yang Dihindari oleh Orang IQ Tinggi tapi Sering Dilakukan Orang Kebanyakan, Apa Itu?
Gagne mengungkapkan, kemampuan manusia terbagi ke dalam dua kategori besar, yaitu bakat alami dan bakat yang dikembangkan secara sistematis.
Sementara, banyak orang berfokus pada bakat alami seperti IQ saja, bakat jenis kedua sering kali dihiraukan.
Padahal, bakat buatan atau yang dikembangkan sendiri itulah yang lebih mendasari kecerdasan para tokoh jenius, termasuk Einstein.
Menilik jauh ke belakang, Einstein bukanlah siswa berprestasi dalam pengertian konvensional, dikutip dari Psychology Today, Senin (11/8/2025).
Dia tidak suka hafalan dan tidak mempercayai gaya mengajar otoriter warisan abad ke-17.
Sebaliknya, Einstein tertarik pada guru dan teman sebaya yang independen dan tidak menyukai pengkastaan.
Baca juga: Mana yang Lebih Penting, Grit atau IQ? Ini Penjelasan Psikolog
Dia pun membentuk kelompok diskusi yang disebut "Olympia Academy" bersama mahasiswa Filsafat, Maurice Solovine, dan matematikawan, Conrad Habicht.
Dalam komunitas tersebut, mereka membaca, belajar, dan berdebat mengenai filsafat, sains, hingga sastra.
Senjata utama mereka adalah rasa ingin tahu, kerja keras setelah gagal berulang kali, dan keinginan untuk terus menerus menemukan dan menerapkan metode yang tepat.
Dengan cara itulah Einstein menemukan teori-teori jeniusnya.