KOMPAS.com - Gejolak demonstrasi terjadi di berbagai daerah selama hampir sepekan.
Ribuan mahasiswa dan kelompok masyarakat turun ke jalan, menyuarakan kekecewaan terhadap kinerja DPR RI.
Sayangnya, di tengah aksi demonstrasi itu, sejumlah anggota DPR justru melontarkan pernyataan dan menunjukkan sikap yang dinilai melukai hati rakyat.
Akibatnya, gelombang aksi demo itu semakin meluas dan kini berujung menjadi anarkis usai oknum massa membakar sejumlah fasilitas publik.
Lantas, kenapa sejumlah anggota DPR melontarkan pernyataan sembrono?
Baca juga: PPI Australia Kecam Komisi XI DPR RI yang ke Luar Negeri saat Ada Demo
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai, Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kepercayaan yang serius.
Menurutnya, DPR dan pemerintah semakin dianggap jauh dari aspirasi masyarakat, sedangkan publik makin frustrasi melihat perilaku elite politik yang tidak peka terhadap kesulitan sosial-ekonomi.
“Kita sedang menghadapi krisis kepercayaan yang sangat akut. Celah antara rakyat dengan institusi politik sangat lebar, dan itu menimbulkan rasa muak sekaligus kemarahan,” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (31/8/2025).
Titi mengatakan, fenomena yang terjadi di di Indonesia saat ini tidak lahir secara tiba-tiba.
Sebab, banyak anggota DPR berhasil duduk di parlemen bukan karena kaderisasi yang panjang atau meritokrasi, melainkan kekuatan finansial dan popularitas.
“Ketika fondasi rekrutmen politik rapuh, perilaku politik yang ditampilkan juga dangkal. Tidak heran kalau mereka cenderung mudah melontarkan komentar sembrono atau menunjukkan gaya hidup kontras dengan kondisi rakyat kebanyakan,” jelasnya.
Baca juga: JK Nilai Ucapan Asal DPR Picu Demo, Pakar Ungkap Akar Masalah dan Solusinya
Lebih lanjut, Titi menjelaskan bahwa sistem pemilu yang sangat pragmatis ikut memperparah situasi.
Meski kompetisi setiap calon ketat, tetapi praktiknya lebih banyak ditentukan oleh modal uang dan ketenaran instan.
“Partai politik sering kali memilih caleg dengan kantong tebal atau nama besar, bukan yang berkapasitas dan berintegritas,” kata Titi.
Menurutnya, lemahnya pengawasan, penegakan hukum, serta integritas penyelenggara pemilu juga turut memperkuat dominasi modal dalam politik.