PUBLIK masih mengingat riuh demo pada Senin 25 Agustus 2025, yang berlangsung di sekitar Gedung DPR/MPR RI Jakarta.
Ratusan pelajar ikut terseret turun ke jalan, hingga 196 orang diamankan aparat. Padahal saat itu, jam sekolah masih berlangsung.
Dua hari kemudian, Kamis 28 Agustus, ribuan buruh kembali memenuhi kawasan Senayan dan heboh dengan meningalnya seorang pengemudi ojol.
Demonstrasi meluas, hingga terjadi pembakaran sejumlah gedung pemerintah dan DPRD. Selain itu, terjadi penjarahan di rumah tokoh-tokoh nasional.
Polda Metro Jaya lalu memberi imbauan agar massa tidak melakukan siaran langsung di media sosial, terutama TikTok.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menyebut, siaran langsung yang disertai harapan gift dan hadiah berpotensi memancing pelajar ikut bergerak ke jalan.
Aparat bahkan mengaku akan memantau live streaming karena dinilai dapat memicu provokasi.
Baca juga: Di Mana Menko Polkam Budi Gunawan?
Fenomena ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar teknis keamanan. Media sosial, khususnya TikTok, kini menjelma arena dominan dalam kehidupan publik Indonesia.
Bukan hanya sebagai tempat hiburan, melainkan panggung politik, ruang mobilisasi, sekaligus etalase identitas sosial.
Yang menarik, polisi tidak lagi semata mengawasi pengeras suara atau selebaran demonstran, melainkan ikut memberi imbauan tentang bagaimana seharusnya masyarakat menggunakan fitur live TikTok.
Inilah titik di mana platform digital bukan sekadar medium komunikasi, melainkan instrumen kekuasaan yang menandingi, bahkan melampaui ruang publik konvensional.
Jean Baudrillard, filsuf Perancis, sejak awal telah memperingatkan tentang dunia Simulacra and Simulation (1981).
Menurut dia, di era digital kita hidup dalam realitas semu, ketika representasi dan simbol menggantikan kenyataan itu sendiri.
Live TikTok saat demo bukan lagi sekadar dokumentasi, tetapi membentuk persepsi baru yang bisa lebih berpengaruh dibanding peristiwa fisik.
Seorang pelajar yang melihat ribuan komentar dan emotikon dalam siaran langsung bisa merasa bahwa turun ke jalan adalah kewajiban moral, meski tanpa pernah mengerti substansi tuntutan demo itu.