GARUT, KOMPAS.com – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendampingi korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan terdakwa dokter kandungan Muhammad Syafril Firdaus (MSF) alias dokter Iril, dan menyerahkan restitusi kepada lima korban dengan total mencapai lebih dari Rp 106 juta pada Selasa (28/10/2025) siang di kantor Kejaksaan Negeri Garut.
Penyerahan restitusi dengan total Rp 106 juta lebih itu dilakukan setelah Pengadilan Negeri Garut memutus dokter Iril bersalah dan menjatuhkan vonis lima tahun penjara pada 2 Oktober 2025 lalu.
Lima korban menerima nilai restitusi yang berbeda, yaitu AED sebesar Rp 14 juta lebih, APN Rp 19 juta lebih, AI Rp 30 juta lebih, ES Rp 12 juta lebih, dan DS Rp 28 juta lebih.
Wakil Ketua LPSK, Anton Prijanto S Wibowo, mengatakan pembayaran restitusi merupakan bentuk pemenuhan hak korban atas keadilan dan tanggung jawab pelaku.
Baca juga: Vonis 5 Tahun atas Kasus Pencabulan Pasien, Dokter Iril Titip Surat Haru untuk Istri dan Anak
“Restitusi harus difahami sebagai bagian dari pemulihan psikologis dan sosial korban, bukan sekadar kompensasi finansial,” ujar Anton kepada wartawan di kantor Kejaksaan Negeri Garut.
Anton menegaskan, kesediaan pelaku membayar restitusi menjadi langkah konkret penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), khususnya pasal 30 yang menjamin hak korban memperoleh ganti kerugian.
Ia menambahkan, keberanian para korban melapor membuka jalan bagi penegakan hukum yang lebih sensitif terhadap korban. LPSK, kata Anton, memastikan para korban mendapatkan ruang aman untuk bersuara tanpa tekanan sosial.
“Korban tidak boleh dibiarkan menanggung beban sendirian. Restitusi adalah bukti bahwa negara memulihkan, bukan sekadar menghukum,” tegas Anton.
Sejak menerima permohonan perlindungan dari para korban pada April 2025, LPSK melakukan penilaian restitusi melalui sidang Mahkamah Pimpinan pada Mei dan Agustus 2025.
Hasil penilaian kemudian disampaikan ke Kejaksaan untuk dimasukkan ke dalam tuntutan dan akhirnya menjadi bagian dari putusan pengadilan.
“Setelah menerima permohonan dari korban, mereka mendapatkan pendampingan psikologis, pemenuhan hak-hak prosedural, dan fasilitas restitusi,” ujar Anton.
Anton menyebut penetapan besaran restitusi dilakukan berdasarkan penilaian atas kerugian ekonomi dan penderitaan yang dialami korban.
“Ini jadi langkah maju sistem peradilan yang berpihak pada korban atas penderitaan berlapis dan bersifat jangka panjang hingga perlu pemulihan komprehensif, terintegrasi, berkualitas, dan berkelanjutan,” katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang