Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara-negara Pasifik Desak G20 Buat Rencana Iklim Lebih Ambisius

Kompas.com - 28/04/2025, 20:00 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Negara-negara kepulauan kecil di kawasan Pasifik mendesak negara-negara besar, khususnya anggota G20, untuk segera menyerahkan Rencana Iklim Nasional (NDC) baru yang dan sejalan dengan target 1,5 derajat Celsius sebelum Sidang Umum PBB bulan September.

Surat terbuka yang ditandatangani oleh para pemimpin negara Small Island Developing States (SIDS) menegaskan bahwa dunia berada di ambang gagal memenuhi janji yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015.

Mereka mengatakan bahwa saat ini kenaikan suhu Bumi sudah lebih dari 1 derajat Celsius. Tanpa komitmen baru yang konkret, batas 1,5 derajat Celcius akan terlampaui dalam waktu dekat.

“Batas 1,5 derajat Celsius untuk tetap hidup bukan sekadar slogan," tulis pemimpin negara Small Island Developing States (SIDS) sebagaimana dikutip dari surat terbukanya yang diterima Kompas.com pada Senin (28/04/2025) 

Mereka mengatakan, jika semuanya menyerah pada target ini, negara-negara besar ini bukan hanya membiarkan seluruh komunitas di Pasifik menghadapi kehancuran karena pemanasan global, tetapi juga seluruh dunia.

Berbeda dari pernyataan diplomatik biasanya, surat ini menuntut agar National Determined Contribution (NDC) yang baru harus fokus pada pengurangan emisi dalam negeri, bukan sekadar mengandalkan upaya negara-negara ini untuk mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan industri di negaranya.

Dalam suratnya, mereka mendesak agar negara-negara yang masih menjadi produsen bahan bakar fosil— termasuk raksasa minyak dan gas — mempresentasikan rencana transisi yang realistis sesuai dengan rekomendasi dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Badan Energi Internasional (IEA)

Tidak hanya itu, mereka juga menuntut penghentian seluruh pendanaan internasional untuk proyek bahan bakar fosil dan mendesak negara-negara besar untuk mencabut subsidi untuk energi kotor, sebuah janji yang sudah dibuat lebih dari 15 tahun lalu namun hingga kini belum terealisasi.

Mereka juga mengatakan bahwa mereka merasa frustasi karena lambatnya negosiasi iklim global yang tidak kunjung rampung sejak pertemuan perubahan iklim dunia yang ke-29 (COP29) di Baku, sehingga negara-negara pulau kecil dan negara berkembang untuk pertama kalinya melakukan walkout dari pembicaraan.

Oleh sebab itu, kini mereka membawa isu perubahan iklim ke Mahkamah Internasional (ICJ), untuk menegaskan bahwa mengabaikan krisis ini berarti melanggar kewajiban hukum internasional.

Adanya surat ini memperingatkan bahwa keterlambatan aksi akan membawa risiko bencana besar.

Bukan hanya pemanasan global yang semakin buruk, juga bisa mengakibatkan runtuhnya sistem pangan, kehancuran ekonomi, gelombang migrasi massal, dan ketidakstabilan global.

"Kita sedang menghadapi ancaman putaran bencana berulang, dari bencana alam, kehancuran ekosistem, kelaparan, dan migrasi besar-besaran," tulis mereka. "Kemanusiaan, visi, dan kerja sama adalah satu-satunya jalan keluar."

Dalam surat tersebut, mereka juga mengatakan, jika hingga September 2025 negara-negara besar gagal menunjukkan kemajuan, negara-negara kepulauan berjanji akan menuntut revisi target iklim secara cepat dan mendesak dunia untuk mempercepat implementasi kebijakan iklim.

"Bumi sudah dalam kondisi kritis. Ini kesempatan terakhir kita," tegas mereka.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Ambil Untung Tanpa Merugikan, Cara Masyarakat Adat Raja Ampat Hidup Tanpa Tambang
Ambil Untung Tanpa Merugikan, Cara Masyarakat Adat Raja Ampat Hidup Tanpa Tambang
LSM/Figur
Agar AI Tak Lagi Bias, UN Women Serukan Teknologi yang Ramah Gender
Agar AI Tak Lagi Bias, UN Women Serukan Teknologi yang Ramah Gender
LSM/Figur
ASEAN Butuh 100 Miliar Dollar AS untuk Transmisi Energi Terbarukan
ASEAN Butuh 100 Miliar Dollar AS untuk Transmisi Energi Terbarukan
Pemerintah
Terurai dalam Sejam, Inovasi Plastik dari Jepang Bawa Harapan di Tengah Kebuntuan
Terurai dalam Sejam, Inovasi Plastik dari Jepang Bawa Harapan di Tengah Kebuntuan
LSM/Figur
BRIN-PT GIGATECH Luncurkan Inovasi Motor Tempel Listrik
BRIN-PT GIGATECH Luncurkan Inovasi Motor Tempel Listrik
Pemerintah
Demi AI, Meta Kontrak Pakai Nuklir dari Pembangkit yang Nyaris Tutup
Demi AI, Meta Kontrak Pakai Nuklir dari Pembangkit yang Nyaris Tutup
Swasta
Laut Kita Kian Menggelap, Keseimbangan Ekosistemnya Terganggu
Laut Kita Kian Menggelap, Keseimbangan Ekosistemnya Terganggu
LSM/Figur
Kemenaker Dorong Green Skills lewat Employment of the Future
Kemenaker Dorong Green Skills lewat Employment of the Future
Pemerintah
Selamatkan Raja Ampat, Penghentian Tambang Sementara Tak Cukup
Selamatkan Raja Ampat, Penghentian Tambang Sementara Tak Cukup
Swasta
Raja Ampat, Jejak Kerusakan Hutan, dan Harapannya
Raja Ampat, Jejak Kerusakan Hutan, dan Harapannya
LSM/Figur
Studi: Polusi Suara Manusia Ancam Kesejahteraan Fauna di Antartika
Studi: Polusi Suara Manusia Ancam Kesejahteraan Fauna di Antartika
LSM/Figur
Investasi Energi Dunia Melonjak ke Rekor 3,3 Triliun Dollar AS pada 2025
Investasi Energi Dunia Melonjak ke Rekor 3,3 Triliun Dollar AS pada 2025
Swasta
Laporan PBB: Kembangkan AI, Raksasa Teknologi Picu Lonjakan Emisi 150 Persen
Laporan PBB: Kembangkan AI, Raksasa Teknologi Picu Lonjakan Emisi 150 Persen
Swasta
Eropa Batasi Penangkapan Ikan Berlebihan dari Negara Dunia Ketiga
Eropa Batasi Penangkapan Ikan Berlebihan dari Negara Dunia Ketiga
Pemerintah
Masih Ada yang Bandel, Menteri LH Desak Semua Produsen Patuhi Larangan AMDK di Bawah 1 Liter di Bali
Masih Ada yang Bandel, Menteri LH Desak Semua Produsen Patuhi Larangan AMDK di Bawah 1 Liter di Bali
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau