KOMPAS.com — Raja Ampat kerap dipuja sebagai surga biodiversitas Indonesia. Gugusan pulau di Papua Barat ini dikenal karena kekayaan laut, hutan tropis lebat, dan biodiversitas yang masih terjaga.
Namun, di balik citra eksotis itu, lanskap alam Raja Ampat menyimpan jejak kerusakan tidak yang selama ini tak terdengar karena isunya tak cukup viral seperti tambang nikel.
Data dari Global Forest Watch mencatat, dalam kurun waktu 22 tahun, sekitar 11.700 hektar hutan primer di Raja Ampat telah hilang.
Hutan jenis tersebut memiliki peran penting secara ekologis karena umumnya sudah tua, belum terganggu, dan menyimpan cadangan karbon serta keanekaragaman hayati yang sangat besar.
Kehilangan itu menyumbang 76 persen dari total kehilangan tutupan pohon di wilayah tersebut dalam periode 2002 hingga 2024.
Secara persentase, luas hutan primer yang hilang baru mencakup 1,8 persen dari keseluruhan hutan primer yang masih ada—artinya sebagian besar hutan primer masih tetap utuh.
Namun, angka kecil tak bisa serta merta dibilang "cuma". Jika ditarik lebih luas, sejak tahun 2001 hingga 2024, Raja Ampat telah kehilangan 15.900 hektar tutupan pohon, melepaskan sekitar 11,4 juta ton emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) ke atmosfer.
Selain itu, salah satu aspek yang jarang dibahas adalah penyebab utama deforestasi di wilayah ini.
Dari data yang sama, sekitar 30 persen kehilangan tutupan pohon antara 2001 hingga 2024 terjadi di area yang terdampak langsung oleh faktor-faktor pendorong deforestasi seperti pembangunan dan perkebunan skala besar.
Baca juga: Pertemuan Langka Dua Pari Manta, Panggilan Konservasi Laut Raja Ampat
Permukiman dan infrastruktur menyumbang deforestasi sekitar 632 hektar, pertambangan dan perkebunan skala besar sebesar 332 hektar.
Sementara itu, penebangan (baik legal maupun ilegal) menyumbang kehilangan sekitar 5.500 hektar, kebakaran hutan sebesar 2.710 hektar, serta gangguan alam dan manusia lainnya seluas 867 hektar.
Tahun terparah terjadi pada 2016, ketika sebanyak 645 hektar tutupan pohon hilang akibat kebakaran.
Pembukaan lahan hutan untuk pertambangan, perkebunan skala besar, dan pembangunan infrastruktur, jika diteruskan, tak ramah lingkungan berpotensi memicu dampak buruk.
Kita masih punya harapan untuk menyelamatkan Raja Ampat. Sebagian besar hutan tidak mengalami perubahan signifikan., Selain itu, ekosistem hutan Raja Ampat saat ini masih bisa memperbaiki diri.
Meski sempat mengalami kehilangan tutupan, tercatat ada pertambahan tutupan pohon seluas 474 hektar antara tahun 2000 hingga 2020.
Ada hutan yang perlu dimonitor agar tidak hilang. Lahan terganggu tercatat mencapai 23.000 hektar. Ini menunjukkan adanya tekanan yang mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia atau bencana alam selama periode tersebut.
Berdasarkan data peringatan kebakaran hutan (VIIRS) dengan tingkat keyakinan tinggi dari Global Forest Watch, ancaman kebakaran hutan pada 2025 tergolong rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Raja Ampat akan berubah, melainkan seberapa jauh kita mampu menahan laju kerusakannya.
Baca juga: KLH Sanksi 4 Tambang Nikel di Raja Ampat, Terbukti Lakukan Pelanggaran Serius
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya