KOMPAS.com — Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik yang juga pengamat maritim Indonesia, Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengingatkan pemerintah untuk tidak menunggu sanksi dunia, seperti pencabutan status geopark, akibat kegagalan mengelola Raja Ampat.
Ia mengatakan, keberadaan Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan demi kepentingan pertambangan skala besar.
“Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” kata Marcellus dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/6/2025).
Berdasarkan laporan Greenpeace, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah rusak akibat aktivitas tambang.
Sedimentasi yang mengalir ke laut turut menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, serta mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat, mulai dari ikan hingga wisata.
“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” tegasnya.
Baca juga: KLH Sanksi 4 Tambang Nikel di Raja Ampat, Terbukti Lakukan Pelanggaran Serius
Marcellus juga menyoroti keberadaan PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk—perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)—yang saat ini beroperasi di Raja Ampat. Status BUMN tidak menjadi alasan untuk menoleransi pelanggaran prinsip ekologis.
“Justru karena BUMN adalah wajah negara, mereka seharusnya jadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan malah melanggarnya,” ujar Marcellus.
Disisi lain, Marcellus menilai langkah Menteri ESDM yang menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel sebagai titik balik penting dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
“Ini bukan semata keputusan administratif, tapi refleksi dari konflik besar antara dua kepentingan, pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup,” katanya.
Marcellus berharap keputusan tersebut tidak berhenti pada penghentian sementara semata, melainkan berujung pada penghentian total.
Ia juga mendesak pemerintah menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial.
Menurutnya, kasus Raja Ampat bisa jadi pelajaran bahwa pengelolaan sumber daya alam perlu melibatkan masyarakat. Karena itu, prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) harus dipatuhi sebagai dasar.
“Jangan sampai masyarakat adat hanya dijadikan objek. Mereka harus menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan karena merekalah yang paling terdampak,” ujar Marcellus.
Selain itu, Marcellus menyoroti minimnya partisipasi lembaga akademik dan ilmiah dalam penilaian risiko lingkungan dari proyek-proyek besar seperti tambang nikel di pulau kecil. Ia menyarankan pemerintah membentuk panel ahli independen untuk mengevaluasi proyek-proyek tambang.
“Keputusan strategis tidak bisa hanya didasarkan pada laporan perusahaan. Harus ada validasi independen dari kalangan akademik dan masyarakat sipil,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran.
“Raja Ampat bukan kasus pertama, dan mungkin bukan yang terakhir jika tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan,” pungkasnya.
Baca juga: Raja Ampat, Jejak Kerusakan Hutan, dan Harapannya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya