KOMPAS.com - Sampah plastik bernilai rendah atau kerap kali disebut residu menjadi tantangan berat bagi lingkungan dan pengolahan.
Kemasan multilayer seperti bungkus permen, kopi, hingga mi instan masih sulit didaur ulang. Begitu pula kemasan sabun yang mengandung aluminium foil.
Sulitnya jenis sampah tersebut didaurulang membuat offtaker atau pembeli sampah yang akan menyetorkan ke pihak pendaurulang enggan membeli dengan harga kompetitif.
Misalnya, kantong plastik (kresek) yang harganya 1 kg sekitar Rp 250 sampai Rp 500. Padahal, 1 kg kresek setara mengumpulkan 100 lembar plasik.
"Sama juga kayak bungkus mie instan. Harganya sangat murah, Rp 500 per 1 kg atau setara 500 lembar plastik," kata Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular KLH, Agus Rusly.
“Plastik-plastik yang bernilai rendah itu tetap menjadi beban sampah di lingkungan,” tegas Agus dalam webinar pada Jumat (26/9/2025).
Untuk itu, KLH mendorong produsen mendesain ulang kemasannya agar bisa didaur ulang, atau mengambil kembali sisa produk yang beredar.
Baca juga: Atasi Sampah, BRI Peduli Latih Masyarakat di Bali Perkuat Mutu Produk Pupuk Kompos
Meski secara umum sulit didaurulang, beberapa jenis sampah plastik yang tadinya termasuk residu kini mulai diminati. Misalnya, popok sekali pakai.
“Jadi, popok itu tadinya kita kategorikan sebagai residu. Mohon maaf, seperti pembalut wanita gitu ya, itu masuknya residu sebenarnya. Tapi beberapa bulan terakhir ini, saya ketemu sama beberapa perusahaan yang justru memanfaatkan popok, pembalut, dan sebagainya misalnya, termasuk popok dewasa, orang-orang tua banyak pakai popok biar tidak bolak-balik ke kamar mandi. Itu ternyata dicari dan bukan masuk kategori sampah residu,” ujar Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular KLH, Agus Rusly dalam webinar, Jumat (26/9/2025).
Hal serupa juga terjadi pada styrofoam (polistiren). Dulu dianggap sulit diolah, kini mulai diminati sejumlah pihak.
Ke depan, Agus berharap Indonesia kan membentuk Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas (EPR). Jadi, semua produsen tanpa kecuali harus bertanggung jawab mengambil kembali sisa kemasannya pasca dikonsumsi oleh masyarakat.
Indonesia, kata dia, perlu ekomodulasi atau mekanisme kebijakan EPR yang memerintahkan produsen dengan produk yang sulit didaur ulang untuk membayar lebih mahal. Untuk plastik bernilai rendah, kata dia akan tetap menjadi beban sampah di lingkungan.
Oleh karena itu, KLH menghentikan impor sampah plastik. Selain itu, KLH juga mendorong pelaku usaha mengambil plastik yang ada di tempat pembuangan akhir (TPA) di dalam negeri.
Baca juga: Banjir Bali, Menteri LH Beri 3 Bulan bagi Hotel Berbintang untuk Benahi Manajemen Sampah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya