Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel
Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com
KOMPAS.com - Hilangnya figur ayah dalam kehidupan anak atau yang dikenal dengan fatherless bukan hanya sekadar persoalan keluarga, tetapi juga potret kondisi sosial yang makin kompleks di Indonesia.
Sekitar seperlima anak di Indonesia atau setara dengan 15,9 juta anak di bawah usia 18 tahun berpotensi mengalami fatherless.
“Dari olah data kami, seperlima anak di Indonesia, anak usia kurang dari 18 tahun berpotensi fatherless,” ujar Desk Investigasi & Jurnalisme Data Harian Kompas, Albertus Krisna, dalam acara After Hours: Redefining Father Figure di kawasan Blok M, Jakarta Selatan pada Kamis (23/10/2025).
Baca juga: Ini Cara Memutus Rantai Fatherless dalam Keluarga Menurut Psikolog
Salah satu faktor yang paling sering dikaitkan dengan hilangnya sosok ayah dalam kehidupan anak adalah perceraian.
“Dari 16 psikolog klinis, paling banyak kata yang muncul ketika kita tanyakan penyebab fatherless itu adalah perceraian. Dari masing-masing psikolog, 16 frasa menyebutkan perceraian,” kata Krisna.
Perpisahan orangtua dapat membuat anak kehilangan kedekatan emosional dengan salah satu figur penting dalam pengasuhannya, yaitu ayah.
“Ketika figur ayah itu hilang, tidak hanya secara fisik, tapi sistem dukungan emosionalnya pun ikut hilang,” ucap Psikolog Klinis, Widya S. Sari, M.Psi., dalam acara yang sama.
Baca juga: Hal yang Bisa Dipelajari dari Isu Fatherless, Menurut Psikolog
Selain perceraian, faktor lain yang sering muncul adalah ayah dengan jam kerja yang panjang.
Banyak anak tumbuh hanya bersama ibu karena ayah harus bekerja dalam waktu lama, sehingga waktu untuk berkomunikasi dan berkumpul bersama anak menjadi terbatas.
Meskipun demikian, Widya menilai, keterlibatan ayah tidak hanya diukur dari lamanya waktu yang dihabiskan bersama anak.
Baca juga: Apa Beda Dampak Fatherless pada Anak Laki-laki dan Perempuan? Ini Kata Ahli
Ayah tetap bisa hadir secara emosional untuk anak meskipun dirinya tidak hadir secara fisik. Untuk itu, ayah perlu memberikan ruang komunikasi dan dukungan yang konsisten untuk anaknya.
“Keterlibatan ayah bukan hanya tentang kuantitas waktu, tapi juga kualitas kehadirannya. Situasi hidup tidak selalu ideal, ada ayah yang harus bekerja di luar kota atau luar negeri,” ucapnya.
Kurangnya penyediaan lapangan pekerjaan juga menjadi salah satu pemicu meningkatkan potensi fatherless di berbagai daerah.
Ayah yang terpaksa merantau jauh dari keluarga berpotensi kehilangan kesempatan hadir secara fisik untuk anaknya.
“Ketika provinsi dengan anak potensi fatherless itu tinggi, di sana penyediaan lapangan kerjanya minim,” tutur Krisna.