JAKARTA, KOMPAS.com - Suasana bus antarkota yang biasanya riuh dengan alunan dangdut, kini berubah sepi.
Bagi sebagian penumpang, hilangnya musik membuat perjalanan jadi terasa asing.
“Agak aneh sih, sepi banget jadinya sepanjang perjalanan juga. Enggak bisa dengar lagu dangdut lagi, padahal kan itu ciri khas bus antar kota,” keluh Rexy (30), penumpang bus yang ditemui di Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (19/8/2025).
Sunyi itu tak lepas dari kebijakan penarikan royalti lagu di ruang publik.
Banyak pelaku usaha, termasuk pengelola bus, memilih menonaktifkan musik karena takut terkena kewajiban royalti.
Bukan cuma suasana yang berubah, keraguan pun menyelimuti warga.
Rexy mengaku khawatir, uang royalti tidak benar-benar sampai kepada penyanyi atau pencipta lagu.
“Kayak royaltinya bakal benar-benar dikasih ke penyanyi atau pencipta lagu aja, kalau dikorupsi lagi kan menyusahkan berbagai lapisan,” ujarnya.
Keluhan serupa datang dari Erni (29), penumpang bus lainnya.
Ia terbiasa mendengar musik di kafe atau perjalanan sebagai penghibur, tapi kini merasa ada yang hilang.
“Kadang dengarin musik di kafe, di jalan, cukup menghibur dan hilangin bosan. Tapi, hal sepele kayak gini masih direcokin pemerintah,” kata Erni.
Erni pun ragu dengan mekanisme pembagian royalti. Menurutnya, sistem itu sulit dilakukan secara adil.
“Pembagiannya (royalti) kayak gimana coba? Kan ribet ada ribuan penyanyi dan lagu. Hitung-hitungannya gimana coba pemerintah? Pasti bakal mengundang konflik lagi,” ucap dia.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM tetap berpegang pada aturan.
Mereka menegaskan, setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, mulai dari restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menegaskan aturan ini berlaku meskipun pelaku usaha sudah berlangganan Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” jelas Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
Lembaga ini bertugas menghimpun dan menyalurkan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.
(Reporter: Shinta Dwi Ayu | Editor: Abdul Haris Maulana)
https://megapolitan.kompas.com/read/2025/08/19/17492611/keraguan-penumpang-pada-royalti-lagu-hingga-suasana-bus-jadi-sunyi