PADA 22 Mei 2025, Komisi Uni Eropa (UE) resmi menerapkan klasifikasi risiko deforestasi dari berbagai negara. Ada tiga kelas risiko yang dipakai, yaitu rendah, standar, dan tinggi.
Bersama Brasil, Kamboja, dan Malaysia, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok risiko standar. Komisi UE memasukkan sekitar 50 negara ke dalam kelompok ini.
Adapun yang masuk dalam kelompok risiko tinggi hanya empat negara, yaitu Rusia, Belarus, Korea Utara, dan Myanmar. Keempatnya memang negara yang banyak terkena sanksi ekonomi.
Semua anggota ASEAN selain Indonesia, Kamboja, Malaysia, dan Myanmar, masuk kelompok risiko rendah.
Klasifikasi ini akan mempengaruhi pemeriksaan terhadap ekspor produk yang terkena European Union Deforestation Regulation (EUDR) ke negara anggota Uni Eropa.
Baca juga: Kebijakan Hijau Global dan Tantangan Lokal: Menyorot Dampak EUDR terhadap Petani Kecil Sawit
Sebagaimana diketahui, EUDR adalah regulasi Uni Eropa tentang syarat bebas deforestasi bagi produk tertentu agar bisa diperdagangkan di negara Uni Eropa.
Produk tersebut adalah kakao, karet, kayu, kelapa sawit, kedelai, kopi, serta sapi dan semua produk turunannya. Saya menyebut ke-6 produk tersebut 6KS.
Untuk Indonesia, yang terkena adalak 5K, karena Indonesia bukan eksportir kedelai dan sapi.
Sebagai negara berisiko standar untuk klasifikasi deforestasi yang dikeluarkan UE, eksportir Indonesia tidak berhak atas due diligence system (DDS) yang disederhanakan.
Indonesia wajib menyertakan DDS yang standar, sesuai dengan penilaian dan mitigasi risiko yang diterapkan terhadap Indonesia.
DDS ini harus diakui oleh otoritas yang kompeten dari masing-masing negara UE. Contohnya adalah Otoritas Pangan dan Keamanan Produk Konsumer (NVWA) di Belanda serta Kementerian Pertanian, Kedaulatan Pangan, dan Kehutanan di Italia.
Tanpa pengakuan, secara legal, produk eksportir tidak boleh masuk pelabuhan di negara UE.
Baca juga: Kemenko Perekonomian dan Surveyor Indonesia Matangkan Dasbor Nasional untuk Implementasi EUDR
Dalam rangka mencegah penyelewengan, otoritas negara anggota akan melakukan pengecekan kepatuhan.
Volume produk yang wajib dicek untuk Indonesia dan negara risiko standar adalah 3 persen, untuk negara risiko rendah hanya 1 persen, dan untuk risiko tinggi adalah 9 persen.
Nilai ekspor 5K dan turunannya dari Indonesia ke UE itu sekitar 4-4,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 70 triliun setahun. Jika Indonesia tidak mempunyai DDS yang diakui, ekspor tersebut bisa terganggu.
Belum lagi, menyikapi kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Pemerintah berharap Uni Eropa menjadi salah satu kawasan diversifikasi ekspor. Tanpa DDS yang diakui negara UE, harapan tersebut sulit terwujud.
Indonesia tidak berangkat dari nol menghadapi EUDR.
Sejak 2014 sudah ada skema sertifikasi Indonesia yang diterima pasar dunia untuk ekspor kayu, bubur kayu, kertas dan turunannya, yaitu dari the Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC).
Skema ini diakreditasi oleh otoritas akreditasi Italia dan Indonesia, yaitu Accredia dan Komite Akreditasi Nasional (KAN). Ekspor yang bersertifikat dari IFCC bernilai sekitar 7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 112 triliun setahun.
Terkait EUDR, IFCC mengembangkan skema DDS atas konsultasi dengan pemerintah dan swasta terkait di Italia.
Baca juga: IFCC Ajak Berbagai Pihak Sukseskan Sertifikasi Hutan di Indonesia
Tepat setahun sebelum pengumuman Komisi UE, yaitu 22 Mei 2024, Dubes Italia untuk Indonesia, Benedetto Latteri, bersama saya menemui Menteri Perdagangan (Mendag) yang saat itu dijabat Zulkifli Hasan.
Dubes Latteri menyatakan pemerintah dan swasta Italia menawarkan solusi teknis terhadap produk ekspor Indonesia yang terkena EUDR. Mendag juga menyebutkan opsi ekspor melalui pelabuhan Genoa dan Trieste di Italia sebagai pintu masuk ke Uni Eropa.
Dengan modal di atas, Indonesia cukup siap menghadapi EUDR, bahkan mendiversifikasikan ekspor ke Uni Eropa. Itu saya sampaikan dalam rapat dengan beberapa birokrat senior Uni Eropa pada 5 Februari 2025 di kantor UE di Brussels.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya