JAKARTA, KOMPAS.com – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan, implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 berpotensi menciptakan tekanan fiskal yang signifikan bagi negara.
Selain mengancam keberlangsungan industri padat karya seperti tembakau, regulasi ini juga dinilai dapat memperluas pasar rokok ilegal dan menurunkan penerimaan negara dari cukai.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Rizal Taufikurahman mengatakan, kebijakan ini perlu dikaji ulang secara menyeluruh agar tidak memperburuk kondisi industri padat karya.
Baca juga: Jaga Daya Saing Industri Padat Karya, Pemerintah Diminta Fokus pada Deregulasi
"Arahan Presiden Prabowo untuk menderegulasi kebijakan yang menghambat ekonomi merupakan langkah strategis untuk merespons ancaman PHK yang semakin nyata di sejumlah sektor industri termasuk akibat dari kebijakan tarif Trump,” jelas Rizal dalam keterangannya, Kamis (28/5/2025).
Namun, ia mengingatkan, deregulasi tidak boleh dimaknai sebagai pelonggaran tanpa arah, tetapi sebagai proses penataan ulang regulasi agar lebih responsif dan kontekstual.
Jika kembali pada proses perancangan, PP 28/2024 dinilai masih minim partisipasi bermakna (meaningful participation).
Lebih lanjut, menurutnya, pemerintah perlu melakukan audit regulasi lintas sektor secara menyeluruh, terutama pada sektor padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja seperti industri tembakau dan makanan-minuman.
Baca juga: Selamatkan Industri Padat Karya, Apindo Desak Deregulasi
PP 28/2024 yang merupakan bentuk regulasi untuk memperkuat aspek kesehatan masyarakat memang patut diapresiasi dari sisi tujuan.
Namun, bagi Rizal, implementasi kebijakan seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan larangan pemajangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) justru mengandung risiko besar bagi keberlangsungan industri tembakau nasional.