JAKARTA, KOMPAS.com - Industri kripto Asia Tenggara makin memanas. Dua negara tetangga, Vietnam dan Thailand, tancap gas lewat berbagai kebijakan progresif untuk memperkuat ekosistem aset digital di dalam negeri. Sementara itu, Indonesia justru dihadapkan pada pilihan penting: ikut berbenah atau tertinggal dalam perlombaan industri kripto regional.
Pemerintah Thailand baru saja menetapkan insentif pajak besar bagi pelaku aset kripto. Otoritas Negeri Gajah Putih itu membebaskan pajak penghasilan pribadi sebesar 15 persen bagi pengguna exchange kripto lokal. Kebijakan ini berlaku hingga 31 Desember 2029 dan diharapkan menjadi magnet baru bagi investor, baik ritel maupun institusi.
Vietnam tak mau kalah. Pada 14 Juni 2025, negara ini resmi mengesahkan Undang-Undang tentang Industri Teknologi Digital yang memayungi aset kripto dalam kerangka hukum formal. Aturan ini juga memuat standar ketat anti pencucian uang (AML) dan anti terorisme.
Kejelasan hukum ini membuat Vietnam selangkah di depan, meski sama-sama mengklasifikasikan kripto sebagai aset digital seperti Indonesia.
Baca juga: Indonesia Peringkat 3 Adopsi Kripto Dunia, Ungguli AS
Menurut laporan Global Crypto Adoption Index 2024 dari Chainalysis, Vietnam kini duduk di peringkat kelima dunia, Thailand di posisi ke-16, dan Indonesia di posisi ketiga. Namun posisi Indonesia ini dinilai rawan digeser jika pemerintah tak segera mengambil langkah strategis.
Calvin Kizana, CEO Tokocrypto, menegaskan pentingnya sinergi di dalam negeri untuk menjaga daya saing industri kripto nasional.
“Indonesia memiliki potensi besar sebagai pasar kripto, tetapi kita tidak bisa terlena. Agar tidak tertinggal dari Vietnam dan Thailand, perlu ada sinergi yang kuat antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk menciptakan regulasi yang mendukung, edukasi yang masif, serta insentif yang mendorong adopsi,” kata Calvin dalam keterangan tertulis, Jumat (20/6/2025).
Baca juga: Konflik Israel-Iran Bikin Pasar Kripto Waspada, Bagaimana Nasib Bitcoin?
Calvin menilai insentif pajak yang diterapkan Thailand bisa menjadi contoh untuk dikaji oleh pemerintah Indonesia. Sementara langkah Vietnam dinilai menarik dari sisi kerangka hukum yang jelas dan aman bagi investor maupun pengembang teknologi.
“Kami percaya bahwa dengan regulasi yang progresif, kolaborasi lintas sektor, serta komitmen bersama, industri kripto Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga menjadi pemimpin di Asia Tenggara,” ujarnya.
Agar tak tertinggal, pelaku industri mengusulkan agar Indonesia segera memberlakukan insentif fiskal, misalnya lewat penyederhanaan pajak atas transaksi aset kripto di exchange lokal.
Baca juga: Modus Jual Beli Akun Kripto Marak di Medsos, Pengguna Terancam Rugi Ganda
Regulasi pun perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perkembangan teknologi blockchain dan model bisnis baru di sektor ini.
Tak kalah penting, peningkatan literasi digital dan finansial dinilai mutlak agar masyarakat bisa berpartisipasi secara aman. Dukungan terhadap startup blockchain lokal pun harus ditingkatkan, misalnya melalui akses pendanaan, sandbox regulasi, dan program inkubasi proyek teknologi.
“Indonesia tidak boleh kalah dalam perlombaan ini. Blockchain dan aset digital adalah masa depan, dan masa depan itu harus dibentuk bersama oleh seluruh elemen bangsa,” pungkas Calvin.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini