KOMPAS.com – Pola pergerakan harga Bitcoin yang selama ini dikenal mengikuti siklus empat tahunan disebut mulai mengalami perubahan.
Perubahan ini dipengaruhi profil investor yang kian beragam, regulasi yang lebih mendukung, serta masuknya arus dana institusional ke pasar kripto.
Jika pola ini benar-benar berubah, dampaknya akan signifikan terhadap cara investor menilai pergerakan harga Bitcoin dan menentukan waktu terbaik untuk berinvestasi.
“Secara resmi belum berakhir sampai kita melihat imbal hasil positif pada 2026. Namun, saya rasa kita akan melihat itu. Jadi, mari katakan: siklus empat tahun sudah berakhir,” kata Matthew Hougan, Chief Investment Officer Bitwise Asset Management, dikutip dari CNBC.
Baca juga: Jual Bitcoin Terlalu Cepat, Tesla Rugi Potensi Cuan Rp 81 Triliun
Siklus Bitcoin merujuk pada pola pergerakan harga selama empat tahun yang dipicu oleh peristiwa halving, yaitu pengurangan imbalan (reward) bagi penambang Bitcoin yang sudah tertulis dalam kode mata uang digital ini.
Halving terjadi sekitar setiap empat tahun. Peristiwa terakhir berlangsung pada April 2024, setelah sebelumnya terjadi pada Mei 2020.
Ketika halving berlangsung, imbalan yang diterima penambang dipangkas setengahnya, sehingga pasokan Bitcoin baru ke pasar berkurang. Total Bitcoin yang akan beredar hanya 21 juta unit.
Biasanya, setelah halving, harga Bitcoin akan melonjak hingga mencetak rekor tertinggi baru, sebelum anjlok sekitar 70–80 persen dan memasuki fase crypto winter (penurunan harga berkepanjangan).
Setelah itu, harga bergerak datar hingga mendekati halving berikutnya, lalu siklus berulang.
Baca juga: Robert Kiyosaki Sebut Bubble Bitcoin Segera Pecah
Siklus kali ini menunjukkan keanehan. Harga Bitcoin mencetak rekor tertinggi di atas 73.000 dollar AS pada Maret 2024, atau sebulan sebelum halving—berbeda dari pola sebelumnya yang biasanya terjadi 12–18 bulan setelah halving.
Menurut Saksham Diwan, analis riset CoinDesk Data, perubahan ini dipicu oleh persetujuan perdagangan Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin di AS pada Januari 2024.
ETF memungkinkan investor mendapatkan eksposur harga Bitcoin tanpa perlu memilikinya secara langsung.
“Permintaan ETF Bitcoin kali ini mendahului fase kenaikan harga pasca-halving. Ini menjadi indikasi awal bahwa arus dana institusional dapat mengubah dinamika siklus tradisional,” kata Diwan.
Baca juga: Siapa Satoshi Nakamoto, Sosok Misterius Pembuat Bitcoin yang Kekayaannya Melejit?
ETF bukan satu-satunya faktor. Hougan dari Bitwise menilai, krisis besar di pasar kripto—seperti runtuhnya ICO pada 2018 atau kebangkrutan bursa FTX pada 2022—sering menjadi pemicu crypto winter di masa lalu.
Kini, lingkungan makroekonomi dan regulasi dinilai lebih kondusif.