JAKARTA, KOMPAS.com - Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve alias The Fed diproyeksikan akan memotong tingkat suku bunga sebanyak dua kali dengan besaran 25 basis poin (bps) masing-masing.
Ketika hal tersebut terjadi maka akan terdapat pelebaran spread antara suku bunga domestik dan global.
Saat The Fed memangkas suku bunga sebesar 50 bps tahun ini, spread BI Rate terhadap Fed Dund Rate (FFR) akan melebar hingga 100–125 bps.
Menanggapi hal tersebut, Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur), Stefanus Dennis Winarto, menilai kondisi tersebut berpotensi memperkuat daya tarik aset emerging market, termasuk Indonesia. Menurutnya, pelebaran selisih imbal hasil (yield spread) antara Indonesia dan AS menjadi faktor kunci.
“Spread yang lebih lebar berarti imbal hasil instrumen di Indonesia relatif lebih menarik dibandingkan AS. Hal ini berpotensi mendorong aliran dana asing (net inflow) ke obligasi maupun saham Indonesia, dengan catatan stabilitas makro domestik tetap terjaga,” jelas Stefanus dalam ketarangan resmi, Selasa (26/8/2025).
Baca juga: OJK Minta Bank Turunkan Suku Bunga Kredit secara Bertahap
Pada periode awal tahun hingga 21 Agustus 2025 (ytd), investor asing tercatat outflow sebesar Rp 52,99 triliun di pasar saham dan inflow sebesar Rp 71,63 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
"Menegaskan preferensi terhadap instrumen pendapatan tetap tetap tinggi di tengah kondisi global saat ini," imbuh dia.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun (INDO10Y) berada di kisaran 6,3–6,4 persen, atau jauh lebih tinggi dibandingkan US Treasury 10 Year AS sebesar 4,27 persen maupun obligasi Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 3,39 persen dan 2,08 persen.
“Selisih yield ini menjadi alasan kuat investor asing meningkatkan eksposur ke Indonesia. Dengan fundamental domestik yang solid, peluang inflow ke pasar obligasi akan semakin besar jika The Fed benar-benar melonggarkan kebijakan moneternya,” ungkap Stefanus.
Baca juga: Bank Mandiri Bakal Terbitkan Obligasi di Kuartal IV, Manajemen: Lihat Kondisi Pasar
Sementara itu, pernyataan bernada dovish dari Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam simposium Jackson Hole juga memperkuat ekspektasi pemangkasan bunga pada September, sehingga menambah sentimen positif bagi aset berisiko, termasuk emerging market.
Di sisi lain, daya tarik Indonesia tidak hanya ditopang oleh spread dan yield, tetapi juga oleh ketahanan fundamental ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 tercatat 5,12 persen secara tahunan yoy, inflasi stabil di kisaran target BI 2,5±1 persen, serta nilai tukar rupiah yang relatif terkendali.
“Dengan pertumbuhan di atas 5 persen, inflasi terkendali, dan rupiah stabil, Indonesia berada dalam posisi relatif lebih kuat dibanding sejumlah negara emerging market,” ujar Stefanus.
Menurut Stefanus, kombinasi faktor global berupa potensi penurunan Fed Fund Rate (FFR) dan fundamental domestik yang solid membuka peluang positif di dua kelas aset utama, yakni obligasi pemerintah dan pasar saham.
Penurunan yield global berpotensi meningkatkan permintaan terhadap obligasi Indonesia, menjaga daya tarik imbal hasil sekaligus membuka peluang capital gain seiring ruang penurunan yield lebih lanjut.
Baca juga: Strategi Cuan dari Dividen Reksa Dana: Lebih Baik Dicairkan atau Diinvestasikan Ulang?