JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia akan memberi masa tenggang selama dua tahun kepada industri makanan dan minuman untuk memenuhi aturan baru pelabelan produk tinggi gula, garam, dan lemak.
Kebijakan ini diambil setelah adanya tekanan dari pelaku industri dalam negeri maupun internasional, termasuk Amerika Serikat.
“Kami menjelaskan kepada WTO apa langkah kami. Edukasi terlebih dahulu, lalu dua tahun ke depan pembatasan berlaku,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Siti Nadia Tarmizi seperti dikutip dari Reuters, Kamis (28/8/2025).
Menurut data Kementerian Kesehatan, prevalensi obesitas di Indonesia meningkat dua kali lipat dalam kurun 10 tahun hingga 2023.
Sementara UNICEF memperingatkan bahwa satu dari tiga orang dewasa dan satu dari lima anak usia sekolah berisiko mengalami obesitas akibat konsumsi makanan tidak sehat.
Tekanan dari Industri dan Amerika Serikat
Ia menggambarkan respons Indonesia tahun lalu terhadap pertanyaan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai rencana pelabelan tersebut, yang mencakup aturan ketat seperti pembatasan iklan dan larangan penjualan di dekat sekolah bagi produk yang diberi label tidak sesuai.
“Beberapa negara, atau kalau tidak salah Amerika Serikat, mempertanyakan kebijakan kami,” ucap Siti.
Dokumen WTO seperti dilansir Reuters menunjukkan, produsen makanan AS menilai rencana pelabelan akan berdampak besar pada ekspor sekitar 54 juta dollar AS ke Indonesia dan mendesak agar rencana tersebut ditunda untuk meminta masukan dari pihak yang terdampak.
Industri makanan dan minuman domestik juga meminta penundaan kewajiban pelabelan.
“Industri selalu memberi tekanan. Tapi semakin banyak masyarakat Indonesia jatuh sakit akibat penyakit tidak menular seperti diabetes dan kanker yang dipicu makanan tidak sehat,” ujar Diah Saminarsih, pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Baca juga: Kemenkeu Berencana Kenakan Cukai pada Produk Pangan Tinggi Garam
Sebagai informasi, Indonesia telah mewajibkan pencantuman informasi gizi pada kemasan makanan olahan sejak 2021.
Pada 2024, pemerintah berencana meluncurkan sistem label “lampu lalu lintas” dengan label merah untuk produk tinggi lemak, garam, dan gula. Sementara produk rendah kandungan tersebut diberi label hijau.
Dia menambahkan, sistem label Indonesia meniru model yang diterapkan di Singapura.
"Mulai akhir 2025, kementerian akan mengizinkan perusahaan menggunakan stiker lampu lalu lintas dan pernyataan mandiri pada produk sebelum aturan pembatasan berlaku penuh dua tahun kemudian," sebut Siti.
Menurut dia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan mencocokkan label dengan kandungan produk di laboratorium yang ditunjuk pemerintah untuk memastikan akurasi, sembari terus bekerja sama dengan perusahaan makanan dan minuman.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 40 negara sudah menggunakan sistem serupa, baik sukarela maupun wajib.
Banyak negara menghadapi tekanan besar dari kelompok industri yang berargumen bahwa perusahaan sebenarnya sudah mencantumkan kandungan gizi dengan jelas.
Baca juga: DPR Khawatir Pembatasan Konsumsi Gula Garam dan Lemak Gerus Daya Beli dan Lemahkan UMKM
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini