Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tulus Abadi
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik

Bekerja di YLKI 30 tahun, sejak 1996. Menjadi Ketua Pengurus Harian YLKI selama 8 (delapan) tahun, sejak 2015-2024. Saat ini sebagai Pengurus Harian YLKI dan Anggota BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) unsur Masyarakat, Kementerian PUPR. Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau dan Anggota APEI (Asosiasi Pengamat Energi Indonesia)

Paradoks Hari Pelanggan Nasional 2025

Kompas.com - 04/09/2025, 14:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP 4 September, diperingati sebagai “Hari Pelanggan Nasional” (Harpelnas) atau National Customer Day.

Harpelnas kali pertama dicetuskan pada 2003, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Aspek normatif Harpelnas berkorelasi kuat dengan keberadaan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Berbasis Harpelnas dan UUPK inilah pelaku usaha didorong mewujudkan keandalan produk dan pelayanannya.

Dan muaranya konsumen secara hakiki adalah pilar utama dalam perekonomian, sebagaimana tesis John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35; yang juga pencetus hak-hak dasar konsumen.

Konsumen tak boleh dimarginalisasikan. Struktur pasar tak akan bisa berdiri kokoh tanpa keberadaan konsumen, sebagaimana negara tanpa rakyat.

Lalu, apa yang bisa kita refleksikan dari sisi sosial dan ekonomi masyarakat konsumen pada Harpelnas 2025 ini? Ada beberapa fenomena yang patut disorot.

Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?

Dari sisi ekonomi, daya beli masyarakat sebagai konsumen/pelanggan, saat ini tampak lesu. Daya beli menurun.

Maka, tidak aneh ada fenomena “rojali” alias rombongan jarang beli. Atau juga “rohana” rombongan hanya nanya. Dan istilah sejenis, yang terkesan lucu/unik, tetapi memang menggambarkan situasi empirik. Pasar tradisional juga tak seramai biasanya.

Namun, jika merujuk pada data pertumbuhan ekonomi versi BPS (Badan Pusat Statistik), pertumbuhan ekonomi kita sehat, yakni sebesar 5,12 persen.

Angka ini melebihi ekspektasi mayoritas ahli, praktisi dan lembaga kajian ekonomi, seperti LPEM UI, INDEF, CELIOS, dll.

Terkait hal ini, menarik juga dicermati fenomena turunnya kelas menengah Indonesia. BPS mencatat kelas menengah Indonesia pada 2019 mencapai 57,33 juta (21,5 persen). Angka tersebut mengalami penurunan pada 2024 mencapai 47,85 juta jiwa.

Dan fenomena menurunnya kelas menengah makin terlihat pada kisaran 2024-2025. Kelas menengah layak dijadikan parameter, sebab dari kantong mereka uang banyak digelontorkan.

Di sisi lain, sejatinya fenomena "Rojali-Rohana" bukan serta merta faktor pertumbuhan ekonomi makro; tetapi ada faktor lain, yakni digital ekonomi.

Masyarakat konsumen Indonesia kini makin gandrung berbelanja secara daring (belanja online), alias e-commerse. Sharing ekonomi digital terbukti signifikan, yakni berkisar Rp 1.860 triliun; dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 8,4 persen (2024).

Sehingga perilaku konsumen saat pergi ke mal dan atau pusat belanja hanya untuk window shopping saja. Konsumen menjadikan mal/pusat belanja hanya untuk melihat berbagai produk barang, baik menyangkut merek, jenis, dan harganya; lalu nanti mereka membeli secara daring; melalui berbagai platform digital.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau