Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Perdebatan Luhut Vs Purbaya: Antara Ambisi Investasi dan Kehati-hatian Fiskal

Kompas.com - 20/10/2025, 05:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI REPUBLIK ini, perbedaan pandangan antarpejabat tinggi bukanlah hal baru. Sejak dulu, perdebatan dan gesekan ide selalu menjadi bagian dari dinamika pemerintahan.

Namun, ketika dua sosok berpengaruh seperti Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saling beradu pendapat, kisah itu menjadi gambaran nyata tarik-menarik antara dua visi besar dalam pengelolaan ekonomi nasional.

Di satu sisi, ada dorongan besar untuk menarik investasi asing. Namun di sisi lain, ada kehati-hatian yang didasarkan atau mengutamakan adanya stabilitas fiskal dan kedaulatan negara.

Luhut, yang sebelumnya dikenal sebagai “menteri segala urusan”, kembali menjadi sorotan publik dengan gagasan ambisius tentang Family Office.

Dengan ini Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai tempat menarik bagi miliarder dunia untuk menanamkan modal, membuka gerbang ekonomi selebar-lebarnya.

Baca juga: Purbaya Mengembus Whoosh

Ia membayangkan Jakarta, Bali, atau Batam sebagai pusat finansial global yang ramah terhadap investasi.

Dalam pandangannya, APBN hanya menyumbang 10–15 persen dari perekonomian nasional, sehingga mendorong investasi asing adalah kunci mempercepat pertumbuhan dan pembangunan.

Namun, pandangan Luhut tidak sepenuhnya sejalan dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dengan kalkulator dan neraca anggaran di tangan, Purbaya memilih untuk berhitung dengan lebih matang alias tidak gegabah.

Ia bukan menolak investasi, tapi menolak insentif yang berpotensi membahayakan kondisi fiskal negara. Pengalaman dengan kereta cepat Woosh rupanya menjadi pelajaran penting.

Dalam pikirannya, setiap kebijakan insentif pajak pasti membawa konsekuensi—seringkali berupa kebocoran anggaran yang berujung pada defisit yang sulit dikendalikan.

Pernyataannya yang tegas, “Kalau Dewan Ekonomi Nasional mau bangun sendiri, silakan. Saya tidak akan alihkan anggaran ke sana,” menjadi simbol sikap yang mengutamakan disiplin fiskal.

Konflik yang berlangsung ini tidak meledak di ruang publik, tetapi terasa nyata dalam rapat-rapat tertutup. Luhut membawa visi global yang penuh ambisi, sementara Purbaya mengedepankan fondasi nasional yang kokoh dan terjaga.

Satu menatap langit peluang yang berkilauan dan menjanjikan harapan, yang lain menatap tanah agar tidak retak akibat ketidak hati-hatian.

Prinsip yang mereka pegang boleh dikatakan sama-sama mulia, tapi arah yang diambil tampak berbeda dan berpotensi menciptakan ketegangan, bahkan pembelahan di internal.

Perdebatan ini juga semakin menarik dengan disertakannya teknologi kecerdasan buatan untuk validasi ide atau gagasan. Di mana Luhut menyebut bahwa kajian Family Office telah dianalisis dengan AI sebagai pendukung keputusan.

Baca juga: Ammar Zoni Perlu Dilindungi

Meski demikian, Purbaya tetap menegaskan bahwa algoritma tidak bisa menggantikan hati nurani fiskal yang menjaga stabilitas keuangan negara.

Bagi Purbaya, tugasnya bukan sekadar memenuhi keinginan pasar dan ambisi, tetapi memastikan keuangan negara tetap sehat dan berdaulat.

Bagi masyarakat, pertarungan ini ibarat menonton dua film sekaligus. Luhut tampil sebagai aktor laga yang cepat, tegas, dan penuh inisiatif.

Sementara Purbaya hadir sebagai dokumenter ekonomi yang tenang, logis, dan fokus pada detail yang di waktu lalu seringkali terabaikan.

Keduanya saling melengkapi. Tanpa Luhut, kemajuan mungkin berjalan lambat dan datar. Tanpa Purbaya, negara bisa kehilangan kendali dan melaju tanpa rem atau kontrol yang kuat.

Namun, jika konflik ini terus dibiarkan tanpa ada titik temu, ada risiko besar yang mengintai. Kebijakan yang tidak konsisten akan menimbulkan kebingungan di kalangan investor, yang berujung pada ketidakpastian dan penurunan kepercayaan.

Insentif yang diberikan secara berlebihan tanpa kontrol ketat bisa memperlebar kebocoran anggaran dan membengkakkan defisit fiskal.

Akibatnya, pembangunan infrastruktur dan program sosial penting berpotensi terhambat, dan ketimpangan sosial akan semakin melebar.

Lebih jauh lagi, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa terkikis, memicu ketegangan politik yang merugikan stabilitas nasional.

Konflik laten antara Luhut dan Purbaya bukan hanya soal proyek Family Office atau kebijakan pajak semata, tapi memberikan sinyalemen.

Baca juga: Keluhan Anak Muda dan Sistem yang Tak Adil

Juga refleksi dilema klasik negara berkembang yang harus menyeimbangkan ambisi pertumbuhan ekonomi dengan kewajiban menjaga fondasi fiskal yang kuat dan terus terjaga.

Keduanya sama-sama penting dan dibutuhkan. Jalan tengah harus ditemukan agar dorongan investasi tidak mengorbankan kestabilan fiskal, dan disiplin anggaran tidak menghambat atau bahkan mengebiri laju pembangunan.

Di tengah berbagai tantangan global dan dinamika domestik, perdebatan ini menjadi tanda bahwa sistem pemerintahan Indonesia masih hidup dan dinamis.

Masih ada ruang untuk berdiskusi, berdebat, dan mencari solusi atau merumuskan formula terbaik demi masa depan bangsa.

Kadang, pahlawan bukanlah yang paling keras berbicara di podium, melainkan yang paling tenang menjaga kas negara agar tidak terbakar oleh ambisi yang terlalu cepat menyala.

Di sanalah konflik senyap Luhut Vs Purbaya — yang kemungkinan akan terus berlanjut di episode berikutnya—menemukan maknanya. Menjadi cermin sebuah bangsa yang tengah berjuang menyeimbangkan antara mimpi besar dan realitas yang harus dihadapi.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau