JAKARTA, KOMPAS.com - Uji materi Undang-Undang Kementerian Negara terkait rangkap jabatan wakil menteri sekaligus komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/7/2025).
Para penggungat, Ilham Fariduz Zaman dan A Fahrur Rozi, hadir untuk membacakan keresahannya terkait praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh para wakil menteri di Kabinet Merah Putih.
"Para Pemohon benar-benar resah dengan praktik adanya rangkap jabatan di mana seorang wakil menteri menjadi komisaris BUMN. Keresahan itu dengan nyata para Pemohon ini tuangkan dalam sebuah tulisan," kata Rozi dalam sidang.
Baca juga: UU Kementerian Negara Digugat, MK Diminta Tegaskan Wamen Dilarang Rangkap Jabatan
Salah satu tulisan Rozi pernah dimuat di Kompas.com pada 9 Juli 2025 dengan judul Celah Hukum Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri-Komisaris BUMN.
Namun, alih-alih tulisan tersebut didengar oleh pemangku kebijakan, pemerintah justru melanggengkan 30 wakil menteri duduk di jabatan komisaris BUMN.
“Justru dua sampai tiga hari setelah pemuatan artikel para Pemohon tersebut, terdapat sebuah rilis berita yang menayangkan laporan tentang daftar menteri yang merangkap jabatan, yang bertambah menjadi 30 wakil menteri, dari sebelumnya 25,” tutur Rozi.
Baca juga: Rangkap Jabatan Wakil Menteri dan Peningkatan Ketimpangan
Para pemohon juga menyoroti dampak anggaran negara yang dialokasikan ke BUMN melalui superholding BPI Danantara.
Mereka menilai alokasi sebesar Rp 325 triliun dari total efisiensi anggaran Rp 750 triliun justru tidak akuntabel karena dikelola oleh entitas yang dipimpin oleh pejabat rangkap jabatan.
Pemohon II, yang merupakan mahasiswa, juga mengeluhkan dampak kebijakan efisiensi tersebut pada sektor pendidikan.
Baca juga: Ketua MPR Nilai Rangkap Jabatan Wamen Jadi Komisaris Bukan Dilarang MK, tapi...
Ia mengalami keterbatasan layanan kampus, seperti pembatasan akses fasilitas, pengurangan jam akademik, hingga dikenakannya biaya sewa ruang belajar.
Menurut mereka, rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris atau pengawas BUMN membuka konflik kepentingan, mengancam akuntabilitas keuangan negara, serta merugikan hak konstitusional warga negara atas pemerintahan yang bersih dan transparan.
Oleh karena itu, mereka meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa “Menteri” dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara agar dimaknai juga mencakup “Wakil Menteri”.
Baca juga: PCO Keukeuh Anggap Tak Menyalahi Putusan MK soal Wamen Rangkap Jabatan Komisaris
Mereka juga memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 27B dan Pasal 56B UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai melarang anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas merangkap jabatan dalam berbagai posisi strategis lain, termasuk di kementerian, lembaga, partai politik, maupun BUMD.
Pemohon juga menilai Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mereka beralasan bahwa meskipun Mahkamah dalam Putusan 80/PUU-XVII/2019 menyatakan menteri dan wakil menteri merupakan satu entitas, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak adanya implementasi larangan rangkap jabatan terhadap wakil menteri secara eksplisit.
Baca juga: Larangan Rangkap Jabatan, Wamen Diimbau Sukarela Mengundurkan Diri dari BUMN
Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar posita dalam permohonan diperkuat.
“Positanya perlu lebih diperkuat lagi, terutama terkait pertentangannya dengan Undang-Undang Dasar,” ujar Enny.
Pada akhir persidangan, Majelis Hakim memberikan waktu perbaikan kepada para Pemohon pada Rabu (13/8/2025) mendatang, paling lambat pukul 12.00 WIB.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini