Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
Dalam kerangka teori fragile states (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif the executive weaponization of law enforcement (Thomas Power: 2020).
Dalam perspektif the executive weaponization of law enforcement bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
Baca juga: Frustrasi Kolektif Rakyat: Keharusan Sahkan RUU Perampasan Aset
Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
Komunikasi publik mereka clometan, pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai psychological striking force atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara real-time.
Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
Inilah yang disebut manufactured consent—persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.