Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Budiman Tanuredjo
Wartawan Senior

Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik

Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen

Kompas.com - 07/09/2025, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.

TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.

Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.

Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.

Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.

Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.

Baca juga: Negara Pun Mengajarkan Anarki

Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.

Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.

Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”

Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?

Dalam kondisi low trust society, kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.

Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.

Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.

Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara Satu Meja The Forum, “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”

"Mrucut" atau bangkit?

Jakob Oetama, pendiri Kompas, dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai mrucut.”

“Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.

Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.

Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.

Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.

Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!

Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.

Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau