TIDAK mudah mengelola negara pascakolonial semacam Indonesia. Antara nilai-nilai substantif dan kepentingan-kepentingan pragmatis bergumul adu kuat.
Dan, kita, bangsa Indonesia yang sudah berusia 80 tahun, ternyata masih saja terperangkap pada jebakan anarki.
Hal itu tampak sekali dari peristiwa amuk massa beberapa hari lalu. Di beberapa hari akhir Agustus 2025, kita diliputi kecemasan tinggi. Bayangan tragedi kemanusiaan 1998 dengan cepat menghampiri benak banyak orang.
Amuk terjadi di sejumlah kota pasca-tragedi Pejompongan yang menewaskan Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojol. Ia tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di tengah kerumunan massa pengunjuk rasa di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis malam, 28 Agustus 2025.
Rekaman amatir tragedi itu menyebar dengan cepat, menembus kanal-kanal media sosial, lalu membuka luka-luka sosial-ekonomi warga masyarakat.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Nama Affan Kurniawan dengan cepat menggerakkan warga masyarakat di berbagai kota. Massa turun ke jalan tanpa komando, tanpa pidato.
Sejumlah gedung pemerintah dan fasilitas umum terbakar. Amuk meluas dan menyasar kepemilikan pribadi. Rumah sejumlah pejabat negara diserbu massa. Terjadi penjarahan.
Awalnya demokrasi, tapi ujungnya anarki. Unjuk rasa dengan penggerahan massa sah dalam demokrasi. Demonstrasi diberi tempat di negara demokrasi. Justru negara wajib melindungi dan menjamin keamanannya.
Namun, demonstrasi itu diakhiri anarki. Demonstrasi berubah menjadi amuk dengan ikutannya, seperti pembakaran, perusakan, penjarahan.
Tentu saja amuk dengan ikutannya bukan demonstrasi dan tidak pernah dibenarkan oleh hukum sebagai salah satu pilar demokrasi.
Tragedi 1998 sepertinya tak pernah menjadi pembelajaran bangsa ini. Sejarah hanya dicatat sebagai peristiwa masa lalu, bukan dijadikan cermin untuk refleksi, untuk belajar bersama mengelola zaman.
Padahal, sebagian besar pejabat negeri, pemimpin kita hari ini, melewati peristiwa tragis tahun 1998 itu.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa kita terkesan tak mampu belajar dari sejarah?
Kita, negara ini, memasuki jebakan pascakolonial yang rumit. Kita mengenal negara modern melalui praktik negara kolonial.
Melalui negara kolonial itu pula kita menerjemahkan dan mewarisi model serta relasi kekuasaan antara negara dan warga negara, antara penguasa dan rakyat.