Jam kerja berlebih ini bukan pilihan, melainkan keharusan mengejar target orderan dan bonus yang semakin sulit didapat.
Menurut Prakarsa (2025), 26 persen pengemudi ojol bekerja lebih dari 48 jam per minggu, diklasifikasikan “excessive” oleh standar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Kisah para pengemudi ojol ini mencerminkan ironi bahwa fleksibilitas waktu yang dijanjikan platform justru menjebak mereka dalam siklus kerja tanpa akhir.
Di tengah panas dan hujan, para pengemudi ojol menghadapi risiko kecelakaan setiap hari. Survei IDEAS (2023) juga menemukan, 31,6 persen pengemudi ojol di Jabodetabek pernah mengalami kecelakaan, dengan 2,7 persen di antaranya menderita luka berat atau kerusakan motor parah.
Tragisnya, 35,1 persen pengemudi tidak memiliki jaminan kesehatan seperti BPJS Kesehatan, dan hanya 12,9 persen yang mendapat fasilitasi dari platform.
Tanpa perlindungan, para pengemudi ini harus menanggung sendiri biaya pengobatan, yang seringkali menggerus pendapatan mereka yang sudah tipis.
Baca juga: Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
Seorang peneliti, Nabiyla Risfa Izzati (Dosen Hukum Perburuhan di Fakultas Hukum UGM), membahas dalam artikel yang diunggahnya di 360info, bahwa peraturan yang sudah ada tidak mengandung solusi untuk isu utama pekerja informal di gig economy, yaitu soal kesejahteraan dan kondisi kerja.
Peraturan Menteri Perhubungan soal ojek online pada 2018 dan 2019, dianggap "kemenangan" bagi pengelola aplikasi dan pekerja karena memiliki legitimasi dan kerangka hukum, tapi kedua aturan tersebut bersifat dangkal.
Ketentuan ini hanya mengatur aplikasi bagi kendaraan. Artinya, hanya Gojek dan Grab yang terikat, sedangkan layanan antar makanan secara daring (seperti ShopeeFood) tidak.
Ketimpangan hukum berdampak bagi para pekerjanya. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut lebih berfokus tanggung jawab pekerja, bukan penyedia aplikasi.
Sebagai contoh, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 menimpakan kewajiban pemenuhan standar keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, dan keteraturan layanan kepada pekerja, bukan pengelola.
Logikanya, para pengemudilah yang menyediakan layanan transportasi, bukan platform. Bahkan pengelola tidak pernah menyebut diri sebagai perusahaan transportasi, melainkan perusahaan teknologi. Dengan demikian, peraturan Menteri Perhubungan tidak bisa mengatur mereka.
Sementara di tahun 2023, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan sedang menyusun Peraturan Menteri untuk perlindungan tenaga kerja berbasis aplikasi, termasuk jaminan kesehatan dan kecelakaan.
Namun, hingga 2025, regulasi ini belum terwujud, meninggalkan pengemudi dalam ketidakpastian.
Platform seperti Gojek, Grab, dan Maxim menyebut pengemudi sebagai “mitra,” menggambarkan hubungan setara yang saling menguntungkan, sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Namun, realitasnya jauh dari ideal.