BULAN Agustus 2025 lalu, terasa berbeda. Biasanya kita merayakannya dengan suka cita: lomba tujuh belasan, karnaval, hingga semangat kemerdekaan yang memenuhi jalanan. Namun, Agustus kali ini ditutup dengan kenyataan pahit.
Pada 28 Agustus 2025, pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis di tengah kerumunan massa yang berdemo di Gedung DPR RI.
Tak lama berselang, Rusdamdiansyah atau biasa disapa Dandi, driver ojol di Makassar, juga berpulang tragis setelah dikeroyok massa yang salah mengira ia seorang intel.
Dua peristiwa ini memicu gelombang solidaritas. Ribuan pengemudi ojol di berbagai kota menggelar aksi bela sungkawa.
Mulai dari konvoi penghormatan, doa bersama, hingga shalat ghaib sebagai tanda duka sekaligus perlawanan terhadap rasa tidak adil yang mereka rasakan.
Tragedi Affan dan Dandi membuka mata kita, di balik jaket hijau yang setiap hari kita temui, ada cerita perjuangan hidup yang rapuh.
Layanan transportasi online memang memudahkan masyarakat. Namun ironinya, banyak pengemudinya yang masih jauh dari kata sejahtera, bahkan perlindungan kerap minim.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa driver ojol bukan sekadar “pelengkap aplikasi”. Mereka adalah manusia dengan harapan, keluarga, dan hak yang sama untuk hidup layak.
Baca juga: Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
Di bawah bayang-bayang platform digital raksasa, mereka berjuang bukan hanya melawan kemacetan, tapi juga sistem yang mengikat mereka dalam ilusi kebebasan.
Mari kita telusuri realitas pahit ini melalui data-data selanjutnya.
Bagi sebagian besar pengemudi ojol, jalanan adalah rumah kedua mereka. Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada 2023 terhadap 225 driver di Jabodetabek menemukan bahwa hampir 7 dari 10 pengemudi (68,9 persen) bekerja antara 9 hingga 16 jam per hari.
Jika dihitung seminggu penuh, itu setara dengan 63 jam hingga 112 jam kerja – lebih dari dua kali lipat jam kerja kantoran biasa.
Kondisi serupa terungkap dalam studi Fairwork Indonesia (2022). Seorang pengemudi bernama Roy mengaku harus bekerja hingga 16 jam setiap hari tanpa libur, yang berarti lebih dari 110 jam dalam seminggu.
Sementara Safrul, pengantar makanan, rata-rata menghabiskan 12 jam sehari, tujuh hari penuh dalam seminggu.
Riset lain dari LDFEB UI menegaskan betapa rapuh posisi para driver. Sekitar 90 persen pengemudi Gojek mengandalkan pekerjaan platform sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Bahkan 93 persen di antaranya memiliki dua tanggungan atau lebih.
Jam kerja berlebih ini bukan pilihan, melainkan keharusan mengejar target orderan dan bonus yang semakin sulit didapat.
Menurut Prakarsa (2025), 26 persen pengemudi ojol bekerja lebih dari 48 jam per minggu, diklasifikasikan “excessive” oleh standar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Kisah para pengemudi ojol ini mencerminkan ironi bahwa fleksibilitas waktu yang dijanjikan platform justru menjebak mereka dalam siklus kerja tanpa akhir.
Di tengah panas dan hujan, para pengemudi ojol menghadapi risiko kecelakaan setiap hari. Survei IDEAS (2023) juga menemukan, 31,6 persen pengemudi ojol di Jabodetabek pernah mengalami kecelakaan, dengan 2,7 persen di antaranya menderita luka berat atau kerusakan motor parah.
Tragisnya, 35,1 persen pengemudi tidak memiliki jaminan kesehatan seperti BPJS Kesehatan, dan hanya 12,9 persen yang mendapat fasilitasi dari platform.
Tanpa perlindungan, para pengemudi ini harus menanggung sendiri biaya pengobatan, yang seringkali menggerus pendapatan mereka yang sudah tipis.
Baca juga: Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
Seorang peneliti, Nabiyla Risfa Izzati (Dosen Hukum Perburuhan di Fakultas Hukum UGM), membahas dalam artikel yang diunggahnya di 360info, bahwa peraturan yang sudah ada tidak mengandung solusi untuk isu utama pekerja informal di gig economy, yaitu soal kesejahteraan dan kondisi kerja.
Peraturan Menteri Perhubungan soal ojek online pada 2018 dan 2019, dianggap "kemenangan" bagi pengelola aplikasi dan pekerja karena memiliki legitimasi dan kerangka hukum, tapi kedua aturan tersebut bersifat dangkal.
Ketentuan ini hanya mengatur aplikasi bagi kendaraan. Artinya, hanya Gojek dan Grab yang terikat, sedangkan layanan antar makanan secara daring (seperti ShopeeFood) tidak.
Ketimpangan hukum berdampak bagi para pekerjanya. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut lebih berfokus tanggung jawab pekerja, bukan penyedia aplikasi.
Sebagai contoh, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 menimpakan kewajiban pemenuhan standar keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, dan keteraturan layanan kepada pekerja, bukan pengelola.
Logikanya, para pengemudilah yang menyediakan layanan transportasi, bukan platform. Bahkan pengelola tidak pernah menyebut diri sebagai perusahaan transportasi, melainkan perusahaan teknologi. Dengan demikian, peraturan Menteri Perhubungan tidak bisa mengatur mereka.
Sementara di tahun 2023, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan sedang menyusun Peraturan Menteri untuk perlindungan tenaga kerja berbasis aplikasi, termasuk jaminan kesehatan dan kecelakaan.
Namun, hingga 2025, regulasi ini belum terwujud, meninggalkan pengemudi dalam ketidakpastian.
Platform seperti Gojek, Grab, dan Maxim menyebut pengemudi sebagai “mitra,” menggambarkan hubungan setara yang saling menguntungkan, sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Namun, realitasnya jauh dari ideal.
Menurut Muhammad Yorga Permana, mahasiswa Doktoral London School of Economic, hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojol sejatinya hanyalah “ilusi kemitraan.”
Pengemudi kerap diperlakukan sepihak: mulai dari perubahan tarif dan bonus tanpa dialog, hingga suspend dan putus mitra tanpa perlindungan hukum yang jelas.
Pada akhirnya, mereka bekerja layaknya buruh, tapi tanpa hak-hak pekerja yang seharusnya mereka terima. Fenomena ini menciptakan “bogus employment” yang sarat paradoks.
Dalam data resmi, pengemudi ojol tercatat sebagai bagian dari angkatan kerja aktif dan pekerja informal.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Dalam praktik sehari-hari, mereka bekerja layaknya pekerja formal – dengan jam kerja panjang, ketergantungan penuh pada platform, dan mengikuti instruksi kerja.
Namun di ranah hukum, mereka tidak diakui sebagai tenaga kerja yang berhak atas perlindungan dan hak-hak dasar ketenagakerjaan.
Penelitian dari Fisipol UGM tahun 2020 menunjukkan, hubungan kemitraan antara pekerja gig dengan perusahaan platform seperi Gojek, Grab, dan Maxim berlangsung tidak setara, oleh karena semua keputusan dan kontrol kerja dimonopoli perusahaan platform.
Dengan GoTo memiliki lebih dari 3 juta mitra pengemudi pada 2024, kekuatan platform sebagai penguasa kode dan data tak terbantahkan, meninggalkan pengemudi dalam posisi subordinat.
Selain itu, pada 2015-2017, masa keemasan ojol, pengemudi seperti Wani (40) bisa mengantongi Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hari, dua kali lipat upah minimum regional.
Namun, survei IDEAS (2023) menunjukkan penurunan drastis: pendapatan kotor harian rata-rata hanya Rp 175.000, dengan biaya operasional (bensin, makan, perawatan motor) mencapai hingga 31 persen, meninggalkan pendapatan bersih jauh di bawah upah minimum Jabodetabek.
Seorang akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijawarno, menuturkan, pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8 – 12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan, tanpa libur.
Angka ini jauh dari janji platform pada 2016 yang menawarkan Rp 8 juta per bulan. Faktor seperti perang tarif antar platform, kenaikan biaya BBM, dan oversupply pengemudi memperburuk situasi.
Survei Kemenhub (2022) menunjukkan orderan harian turun dari 5-10 menjadi kurang dari 5 setelah penyesuaian tarif 2022.
Beberapa kisah pengemudi di atas adalah potret nyata kapitalisme digital yang menjanjikan fleksibilitas, tetapi menghadirkan eksploitasi.
Dengan jam kerja hingga 112 jam per minggu, tanpa jaminan kesehatan, kemitraan timpang di mana platform menguasai algoritma, dan penghasilan anjlok dari Rp 8 juta (2016) menjadi di bawah Rp 3,5 juta per bulan (2025), pengemudi ojol terjebak sistem yang menguntungkan penguasa kode.
Baca juga: Beda Nadiem dengan Noel: Kisah Pasal Penggaruk Pejabat
Data dari IDEAS, Fairwork Indonesia, dan Kemnaker menunjukkan urgensi regulasi yang melindungi hak pengemudi. Namun hingga 2025, negara masih absen dalam memberikan perlindungan.
Di bawah bayang-bayang kapitalisme digital, para pengemudi ojol ini terus melaju, bukan menuju kesejahteraan, tetapi untuk bertahan hidup di jalanan yang tak pernah usai.
Maka apakah pemerintah, dunia industri, akademisi, para aktifis dan masyarakat tetap akan berdiam diri menunggu para pengemudi ojol semakin terhempas dan terkapar?
Atau seharusnya kita tetap optimistis mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Apa seharusnya langkah ke depan kita?
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini