Menurut Muhammad Yorga Permana, mahasiswa Doktoral London School of Economic, hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojol sejatinya hanyalah “ilusi kemitraan.”
Pengemudi kerap diperlakukan sepihak: mulai dari perubahan tarif dan bonus tanpa dialog, hingga suspend dan putus mitra tanpa perlindungan hukum yang jelas.
Pada akhirnya, mereka bekerja layaknya buruh, tapi tanpa hak-hak pekerja yang seharusnya mereka terima. Fenomena ini menciptakan “bogus employment” yang sarat paradoks.
Dalam data resmi, pengemudi ojol tercatat sebagai bagian dari angkatan kerja aktif dan pekerja informal.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Dalam praktik sehari-hari, mereka bekerja layaknya pekerja formal – dengan jam kerja panjang, ketergantungan penuh pada platform, dan mengikuti instruksi kerja.
Namun di ranah hukum, mereka tidak diakui sebagai tenaga kerja yang berhak atas perlindungan dan hak-hak dasar ketenagakerjaan.
Penelitian dari Fisipol UGM tahun 2020 menunjukkan, hubungan kemitraan antara pekerja gig dengan perusahaan platform seperi Gojek, Grab, dan Maxim berlangsung tidak setara, oleh karena semua keputusan dan kontrol kerja dimonopoli perusahaan platform.
Dengan GoTo memiliki lebih dari 3 juta mitra pengemudi pada 2024, kekuatan platform sebagai penguasa kode dan data tak terbantahkan, meninggalkan pengemudi dalam posisi subordinat.
Selain itu, pada 2015-2017, masa keemasan ojol, pengemudi seperti Wani (40) bisa mengantongi Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hari, dua kali lipat upah minimum regional.
Namun, survei IDEAS (2023) menunjukkan penurunan drastis: pendapatan kotor harian rata-rata hanya Rp 175.000, dengan biaya operasional (bensin, makan, perawatan motor) mencapai hingga 31 persen, meninggalkan pendapatan bersih jauh di bawah upah minimum Jabodetabek.
Seorang akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijawarno, menuturkan, pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8 – 12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan, tanpa libur.
Angka ini jauh dari janji platform pada 2016 yang menawarkan Rp 8 juta per bulan. Faktor seperti perang tarif antar platform, kenaikan biaya BBM, dan oversupply pengemudi memperburuk situasi.
Survei Kemenhub (2022) menunjukkan orderan harian turun dari 5-10 menjadi kurang dari 5 setelah penyesuaian tarif 2022.
Beberapa kisah pengemudi di atas adalah potret nyata kapitalisme digital yang menjanjikan fleksibilitas, tetapi menghadirkan eksploitasi.
Dengan jam kerja hingga 112 jam per minggu, tanpa jaminan kesehatan, kemitraan timpang di mana platform menguasai algoritma, dan penghasilan anjlok dari Rp 8 juta (2016) menjadi di bawah Rp 3,5 juta per bulan (2025), pengemudi ojol terjebak sistem yang menguntungkan penguasa kode.
Baca juga: Beda Nadiem dengan Noel: Kisah Pasal Penggaruk Pejabat
Data dari IDEAS, Fairwork Indonesia, dan Kemnaker menunjukkan urgensi regulasi yang melindungi hak pengemudi. Namun hingga 2025, negara masih absen dalam memberikan perlindungan.
Di bawah bayang-bayang kapitalisme digital, para pengemudi ojol ini terus melaju, bukan menuju kesejahteraan, tetapi untuk bertahan hidup di jalanan yang tak pernah usai.
Maka apakah pemerintah, dunia industri, akademisi, para aktifis dan masyarakat tetap akan berdiam diri menunggu para pengemudi ojol semakin terhempas dan terkapar?
Atau seharusnya kita tetap optimistis mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Apa seharusnya langkah ke depan kita?
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini