Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Albert Aries
Advokat dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?

Kompas.com - 08/09/2025, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) jenis aset yang dapat dirampas melalui mekanisme ini.

Pertama, segala aset yang diduga merupakan hasil pidana dan aset lain yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta kekayaan lain.

Kedua, aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.

Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti. Keempat, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana sejak berlakunya RUU tersebut.

Adapun pertimbangan dilakukannya perampasan aset secara “in rem” adalah:

  1. Pelaku kejahatan melarikan diri (buronan)
  2. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum dinyatakan bersalah
  3. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (Imunitas)
  4. Pelaku kejahatan memiliki faktor kekuatan non yuridis, sehingga proses peradilan pidana biasa tidak dapat ditempuh terhadapnya.
  5. Pelaku kejahatan tidak diketahui, tetapi aset hasil kejahatannya diketahui atau ditemukan
  6. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan secara hukum pihak ketiga tersebut tidak bersalah
  7. Tidak adanya bukti yang cukup terhadap perkaranya untuk diajukan dalam pengadilan pidana.

Proses dan pembuktian

Dalam draft RUU Perampasan Aset yang beredar, prosesnya dimulai dari penelusuran untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul, keberadaan, dan kepemilikan aset tindak pidana yang dapat dilakukan oleh penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, BNN dan Penyidik PNS.

Baca juga: Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim

Selanjutnya, dilakukan pemblokiran dan penyitaan, yaitu serangkaian tindakan pembekuan sementara aset yang diduga merupakan aset tindak pidana yang kemudian diikuti tindakan untuk mengambil alih sementara penguasaan atas aset yang diduga merupakan aset tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.

Sesudah pemberkasan aset selesai dilakukan, maka penyidik atau penuntut umum akan menyerahkan hasil pemberkasan itu kepada jaksa pengacara negara pada kejaksaan negeri setempat untuk diajukan permohonannya ke pengadilan.

Setelah permohonan diajukan ke pengadilan negeri, majelis hakim yang ditunjuk akan memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan perampasan aset sehingga membuka kemungkinan adanya keberatan atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan haknya atas permohonan perampasan aset bahwa itu bukan merupakan aset tindak pidana.

Sebagai mekanisme kuasi perdata, putusan majelis hakim akan menyatakan permohonan perampasan aset diterima jika jaksa pengacara negara dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membuktikan bahwa aset yang dimintakan untuk dirampas itu merupakan aset tindak pidana.

Sebaliknya, jika pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan dapat membuktikan bahwa aset yang diblokir, disita, dan/atau aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan miliknya yang sah dan/atau bukan merupakan aset tindak pidana, maka putusan majelis hakim menyatakan bahwa permohonan perampasan aset yang diajukan jaksa pengacara negara ditolak.

Harapan dan tantangan

Mencermati RUU Perampasan Aset yang dirancang ibarat sapu jagat, maka harapannya Pemerintah dan DPR bukan hanya fokus pada pengesahan kilat dari RUU Perampasan Aset sebagai suatu substansi hukum (legal substance).

DPR dan pemerintah perlu mendorong perbaikan dari sisi profesionalisme dan integritas dari aparat penegak hukum (legal structure).

Selain partisipasi yang bermakna (meaningful participation), harus dipastikan bahwa RUU Perampasan Aset ini tidak jadi bumerang, dijadikan instrumen political engineering yang hanya melayani kepentingan kekuasaan.

Pengesahan RUU tersebut harus berfungsi sebagai rekayasa keadilan sosial (social justice engineering), yakni memulihkan kembali aset hasil tindak pidana sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Tantangan dari penerapan RUU Perampasan Aset ini bukanlah semata-mata untuk menjustifikasi tindakan sewenang-wenang dari Negara terhadap warga negaranya, dan harus dapat diuji objektifitasnya di pengadilan oleh pihak ketiga yang beriktikad baik, sebagaimana postulat "ex turpi causa non oritur actio", yang artinya penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum jika hal itu berkaitan dengan perbuatan gelapnya sendiri.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau