“PECUNIA non olet”, demikian postulat yang artinya uang itu tidak ada baunya (the money doesn't smell").
Postulat itu berasal dari perkataan Kaisar Romawi Vespansianus saat menanggapi kritik dari anaknya atas pengenaan pajak urine di toilet-toilet umum Romawi pada masa itu.
Vespansianus menunjukkan koin hasil pungutan pajak itu kepada anaknya sambil mengatakan bahwa sekalipun uang itu berasal dari pungutan pajak urine, uang itu tidak bau.
Kemudian ungkapan tersebut terkenal dan sering dikaitkan dengan uang-uang hasil kejahatan yang tidak menebarkan bau kejahatan, karena selalu disimpan dan disembunyikan.
Salah satu dari 17 tuntutan yang terangkum dalam ”17+8, Tuntutan Rakyat” adalah “sahkan dan tegakkan UU perampasan aset koruptor”.
Tuntutan ini tentu tidak keliru, tapi tidak sepenuhnya tepat, karena RUU Perampasan Aset bukan hanya dimaksudkan untuk tindak pidana korupsi saja, melainkan untuk merespons tindak pidana bermotif ekonomi (economic crimes) yang umumnya bersifat transnational organized crime.
Baca juga: Frustrasi Kolektif Rakyat: Keharusan Sahkan RUU Perampasan Aset
Dalam economic crimes, penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan memang bukan lagi merupakan primadona.
Pasalnya, memutus rantai aset sebagai “aliran darah” untuk kejahatan, dianggap sebagai langkah yang lebih efektif, baik terhadap aset yang berbentuk benda bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, tidak berwujud sepanjang mempunyai nilai ekonomis.
Paling tidak, anggapan ini menjadi hipotesis realita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana substitusi dari pembayaran uang pengganti dengan penjara yang tidak melebihi ancaman hukuman maksimal pidana pokoknya dapat dituding sebagai “peluang” bagi koruptor untuk memilih opsi tersebut ketimbang harus membayarnya.
Cuplikan pandangan dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di media sosial yang menyatakan bahwa akar masalah di Indonesia adalah korupsi sehingga Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset atau menerbitkan Peraturan Pemerintah dari UU No 7/2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC, 2003) nyatanya tidak semudah itu untuk diwujudkan.
Berdasarkan konstitusi, meskipun Perppu bisa serta-merta berlaku ketika ditetapkan oleh presiden, tapi suatu Perppu haruslah mendapatkan persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya.
Sedangkan untuk usulan PP dari UU No 7/2006 secara hukum bukan merupakan self executing treaty, sehingga karena materi muatanya adalah hukum acara yang erat dengan hak asasi manuia, maka pelaksanaannya harus dengan peraturan setingkat UU.
Namun, persoalan sebenarnya juga bukan terletak pada formalitas pengaturannya di Perppu, UU, atau di PP, melainkan pada pergeseran dari paradigma pemidanaan.
Baca juga: Beda Nadiem dengan Noel: Kisah Pasal Penggaruk Pejabat
Saat ini, paradigma lama yang masih digunakan adalah “in personam”, yang fokusnya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Misalnya, korupsi dengan “hukuman” pidana yang seberat-beratnya, bahkan kalau perlu sampai pidana mati (Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor).
Sedangkan dalam RUU Perampasan Aset, paradigma barunya adalah “in rem”, yang fokusnya pada pemulihan asset (upon the thing), yaitu melalui rezim penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dengan permohonan kuasi perdata (Civil Forfeiture).
Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) jenis aset yang dapat dirampas melalui mekanisme ini.
Pertama, segala aset yang diduga merupakan hasil pidana dan aset lain yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta kekayaan lain.
Kedua, aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti. Keempat, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana sejak berlakunya RUU tersebut.
Adapun pertimbangan dilakukannya perampasan aset secara “in rem” adalah:
Dalam draft RUU Perampasan Aset yang beredar, prosesnya dimulai dari penelusuran untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul, keberadaan, dan kepemilikan aset tindak pidana yang dapat dilakukan oleh penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, BNN dan Penyidik PNS.
Baca juga: Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
Selanjutnya, dilakukan pemblokiran dan penyitaan, yaitu serangkaian tindakan pembekuan sementara aset yang diduga merupakan aset tindak pidana yang kemudian diikuti tindakan untuk mengambil alih sementara penguasaan atas aset yang diduga merupakan aset tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.
Sesudah pemberkasan aset selesai dilakukan, maka penyidik atau penuntut umum akan menyerahkan hasil pemberkasan itu kepada jaksa pengacara negara pada kejaksaan negeri setempat untuk diajukan permohonannya ke pengadilan.
Setelah permohonan diajukan ke pengadilan negeri, majelis hakim yang ditunjuk akan memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan perampasan aset sehingga membuka kemungkinan adanya keberatan atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan haknya atas permohonan perampasan aset bahwa itu bukan merupakan aset tindak pidana.
Sebagai mekanisme kuasi perdata, putusan majelis hakim akan menyatakan permohonan perampasan aset diterima jika jaksa pengacara negara dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membuktikan bahwa aset yang dimintakan untuk dirampas itu merupakan aset tindak pidana.
Sebaliknya, jika pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan dapat membuktikan bahwa aset yang diblokir, disita, dan/atau aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan miliknya yang sah dan/atau bukan merupakan aset tindak pidana, maka putusan majelis hakim menyatakan bahwa permohonan perampasan aset yang diajukan jaksa pengacara negara ditolak.
Mencermati RUU Perampasan Aset yang dirancang ibarat sapu jagat, maka harapannya Pemerintah dan DPR bukan hanya fokus pada pengesahan kilat dari RUU Perampasan Aset sebagai suatu substansi hukum (legal substance).
DPR dan pemerintah perlu mendorong perbaikan dari sisi profesionalisme dan integritas dari aparat penegak hukum (legal structure).
Selain partisipasi yang bermakna (meaningful participation), harus dipastikan bahwa RUU Perampasan Aset ini tidak jadi bumerang, dijadikan instrumen political engineering yang hanya melayani kepentingan kekuasaan.
Pengesahan RUU tersebut harus berfungsi sebagai rekayasa keadilan sosial (social justice engineering), yakni memulihkan kembali aset hasil tindak pidana sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Tantangan dari penerapan RUU Perampasan Aset ini bukanlah semata-mata untuk menjustifikasi tindakan sewenang-wenang dari Negara terhadap warga negaranya, dan harus dapat diuji objektifitasnya di pengadilan oleh pihak ketiga yang beriktikad baik, sebagaimana postulat "ex turpi causa non oritur actio", yang artinya penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum jika hal itu berkaitan dengan perbuatan gelapnya sendiri.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini