SEMARANG, KOMPAS.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengungkapkan adanya praktik penangkapan dan pemeriksaan terhadap warga yang hanya membuat status di WhatsApp dan berkomentar di Live TikTok terkait gelombang aksi demonstrasi di Semarang.
Anggota Tim Hukum Solidaritas Untuk Demokrasi (Suara Aksi) sekaligus advokat LBH Semarang, Tuti Wijaya, menilai kasus ini menambah daftar panjang dugaan pelanggaran hak-hak sipil oleh aparat setelah aksi penolakan kebijakan pemerintah.
"Seorang pegawai yang bekerja sebagai admin bank tiba-tiba didatangi orang berpakaian hitam-hitam yang diduga intel, tanpa membawa surat penahanan atau penangkapan, hanya membawa dokumen berisi tangkapan layar (screenshot) komentar dia di Live TikTok," ungkap Tuti saat dikonfirmasi pada Kamis (4/9/2025).
Baca juga: LBH Kecam Salah Tangkap Polda Jateng saat Demo di Semarang: Ada yang Cuma Beli Es Teh
Pegawai bank tersebut kemudian dibawa ke Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah.
Atasan pegawai itu melaporkan penangkapan tersebut ke LBH Semarang, dan saat ini tim hukum masih mendalami kronologi kejadian.
"Entah apa yang terjadi, kemudian dia dikeluarkan, dan sampai sekarang dia wajib lapor," lanjutnya.
Kasus serupa juga terjadi pada warga lain yang ditangkap hanya karena mengunggah story WhatsApp yang bercanda tentang pemberitahuan aksi kepada Polrestabes Semarang.
"Jangankan admin-admin, bahkan yang bercanda pun ada yang ditangkap. Kemarin ada satu yang melapor, sebenarnya buat postingan bercanda. Kemudian ditangkap oleh Dit Ressiber Polda Jateng," kata perwakilan Tim Hukum Suara Aksi, Kahar Muamalsyah.
Mereka dituduh menyebarkan berita bohong terkait aksi demonstrasi di Kota Semarang.
Sejumlah warga diperiksa hingga 24 jam dan ponselnya disita. "Kemudian sembilan orang dipanggil juga untuk memberikan keterangan, namun statusnya sekarang masih sebagai saksi dan belum jelas," imbuhnya.
Baca juga: Aktivis Mahasiswa di Kediri Diamankan Polisi, LBH Berharap Tak Ada Intimidasi
Kahar mengecam langkah kepolisian yang dianggap berlebihan, yang dapat menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat dan mengancam kebebasan berekspresi serta demokrasi di ruang digital.
Dia menekankan bahwa hak warga tersebut telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E.
"Semua postingan yang ada sangkut pautnya dengan aksi itu bisa terancam oleh patroli siber. Jadi kebebasan berekspresi dan kebebasan bersuara semakin terancam sekarang," beber Kahar.
Ia menambahkan bahwa alih-alih meningkatkan literasi digital, tindakan patroli siber justru membuat masyarakat takut untuk bersuara.
Belum lagi, tidak adanya prosedur hukum dalam pemanggilan karena warga tidak menerima surat resmi.