PAMEKASAN, KOMPAS.com - Di balik berdirinya Cafe Balada dan perpustakaan Sivitas Kotheka, terdapat jejak kegigihan penggagasnya yang berkomitmen terhadap literasi di Pamekasan, Jawa Timur.
Pada Senin (11/8/2025), cafe yang terletak di Kelurahan Lawangan Daya ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul dan membaca buku, tetapi juga sebagai pusat gagasan literasi modern di era digital.
Cafe ini dihiasi buku-buku yang tertata rapi, mencakup berbagai genre, mulai dari sastra, filsafat, sosial, politik, hingga agama.
Ruangannya yang bersih, tempat duduk yang nyaman, serta meja diskusi yang tersedia menjadikannya pilihan menarik bagi pengunjung.
Baca juga: Sulitnya Hidupkan Perpustakaan Desa
Terdapat dua ruang baca, baik indoor maupun outdoor, yang terkonsep modern.
Mahasiswa, santri, dan pelajar sering datang ke Cafe Balada tidak hanya untuk membaca, tetapi juga untuk mendiskusikan pengetahuan mereka bersama pengurus dan anggota Sivitas Kotheka.
"Sivitas Kotheka melewati jalan panjang, penuh tantangan hingga akhirnya memiliki fasilitas yang bisa dinikmati khalayak," kata Pembina Sivitas Kotheka, Novi Kamalia.
Perjuangan literasi ini dimulai pada pertengahan tahun 2017, ketika sepuluh pemuda dengan latar belakang berbeda berkumpul di Cafe Nirwana, Pamekasan.
Mereka terdiri dari akademisi, pengusaha, jurnalis, penulis, seniman, hingga mahasiswa yang bersatu untuk menciptakan ruang alternatif literasi bagi pemuda.
Mereka tidak hanya mengajak anak muda membaca tetapi juga membuka ruang diskusi dengan konsep "koloman".
Pada koloman pertama, tema Fiqih Jalan Raya yang menghadirkan Kiai M Faizi mendapatkan pujian dari berbagai pihak, yang kemudian melahirkan gagasan koloman kedua.
Baca juga: Mengenal Majang Buku, Komunitas Baca di Lumajang yang Ubah Jalanan jadi Perpustakaan
"Pada koloman kedua ini, kita angkat tema kemerdekaan gender dengan menghadirkan LGBT, saat itu kami didatangi polisi, koloman diminta digagalkan dengan dasar penolakan FPI," ungkap Novi Kamalia, alumni doktoral dari Unair Surabaya.
Meskipun menghadapi tekanan berkedok agama, semangat mereka tidak surut.
"Karena kami ketakutan, akhirnya acara dipindah ke rumah saya di Jalan Veteran dan berjalan lancar," tambahnya.
Mereka terus menggelar ruang diskusi koloman secara rutin, meskipun pada tahun 2019, penolakan kembali terjadi ketika mereka mengundang tokoh dari salah satu gereja.