
KONVENSI Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Kejahatan Siber (UN Convention Againts Cybercrime) secara resmi ditandatangani oleh tidak kurang 65 negara pada saat upacara penandatanganan bersejarah di Hanoi, Vietnam, Kamis (25/10/2025).
Konvensi pertama PBB di bidang kejahatan siber ini diproyeksikan mengubah cara negara-negara menangani kejahatan siber.
Saat ini ancaman digital meningkat tajam. PBB memprediksi kerugian global akibat kejahatan siber mencapai 10,5 triliun dolar AS per tahun pada 2025.
Bagi banyak pemerintah, terutama di belahan bumi selatan, perjanjian ini merupakan peluang untuk mengakses pelatihan, bantuan teknis, dan saluran kerja sama secara langsung.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengajak semua negara membangun dunia siber yang menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang. Memastikan bahwa era digital menghadirkan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan bagi semua.
Dalam pernyataan resminya, Sekjen PBB António Guterres mengatakan bahwa kita hidup di era perubahan teknologi luar biasa yang menghubungkan manusia lintas benua hanya dengan satu klik.
Dunia digital memperpendek jarak dan memperluas peluang ekonomi, inovasi, dan komunikasi.
Baca juga: Infrastruktur Informasi Kritikal Diretas: Urgensi UU KKS
Namun, di balik kemajuan tersebut, terdapat sisi gelap penyalahgunaan teknologi yang melahirkan kejahatan siber lintas negara. Teknologi bukan hanya alat kemajuan, tetapi juga sarana baru bagi kejahatan.
Realitas ini mencerminkan urgensi pembentukan sistem hukum internasional yang dapat menyeimbangkan inovasi dan keamanan agar transformasi digital tidak kehilangan aspek kemanusiaannya.
Kejahatan siber berkembang pesat. Penipuan daring, pelecehan seksual anak, pendanaan kejahatan melalui kripto, hingga serangan ransomware pada infrastruktur kritikal.
Dampak yang ditimbulkan tidak hanya finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi, menurunkan supremasi hukum, dan memperlihatkan bahwa satu kerentanan saja bisa mengguncang sistem global.
Keamanan digital pun bersifat saling bergantung dan dependen satu sama lain. Ancaman siber tidak mengenal batas negara. Akibatnya pendekatan parsial tidaklah efektif.
Indonesia, sebagai negara dengan ekosistem digital besar dan pengguna internet mencapai 229,4 juta (data APJII 2025), juga harus memandang keamanan siber sebagai hal prioritas serta merupakan urusan lintas sektor dan lintas negara, bukan semata isu teknis.
Setelah lima tahun negosiasi, dunia akhirnya berhasil melahirkan Konvensi PBB Melawan Kejahatan Siber. Hukum internasional pertama dalam dua dekade terakhir.
Konvensi ini juga menegaskan aspek pelindungan hak asasi manusia di ruang digital dan menjadi instrumen hukum internasional yang mengikat untuk memperkuat pertahanan siber kolektif global.