
Lahirnya konvensi ini sebagai langkah monumental dan mengisi kekosongan hukum internasional di bidang siber. Namun, efektivitasnya tentu bergantung pada kemauan politik setiap negara untuk meratifikasi dan menegakkannya secara konsisten.
Keberhasilan konvensi juga bergantung pada pembentukan kapasitas nasional, dan kerja sama lintas batas berkelanjutan dengan dukungan UNODC dan Kantor Urusan Hukum PBB yang berkomitmen mendukung negara-negara dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, saya menilai bahwa tahap implementasi akan menjadi ujian utama. Tanpa tindakan konkret, termasuk menyesuaikan instrumen hukum Nasional dan Kebijakan masing-masing negara secara konsisten, maka konvensi hanya akan menjadi simbol.
Baca juga: Mungkinkah AI Jadi Pemenang Hadiah Nobel?
Oleh karena itu, negara-negara, termasuk Indonesia perlu menyiapkan peta jalan nasional yang mengintegrasikan aspek hukum dan teknologi, termasuk mendorong percepatan pembentukan UU Keamanan dan Ketahanan Siber (UU KKS).
Landasan hukum nasional ini penting untuk menciptakan ruang siber aman dan adil, yang tujuan akhirnya melindungi kepentingan umum, kedaulatan digital negara serta martabat manusia.
Dilaporkan Center for Policy Research, Universitas PBB "Understanding the UN’s new international treaty to fight cybercrime" (30/7/2024) bahwa konvensi baru PBB ini dapat menyeimbangkan penegakan hukum, privasi, dan hak asasi manusia.
Kasus ransomware di berbagai negara yang sebelumnya menghebohkan, menunjukkan meningkatnya frekuensi, kecanggihan, dan dampak ekonomi kejahatan siber global.
Serangan-serangan ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berdampak melumpuhkan fungsi pemerintahan dan mengancam kepercayaan publik terhadap keamanan digital.
Fenomena ini menunjukan kebutuhan mendesak akan kolaborasi internasional yang konkret. Serangan siber melintasi batas yurisdiksi sehingga pendekatan domestik semata menjadi tak memadai.
Indonesia, misalnya, perlu memperkuat mekanisme kerja sama lintas negara melalui regulasi KKS.
Konvensi PBB ini bertujuan menjadikan standar kriteria pidana siber, memperkuat penegakan hukum digital, dan mendorong kerja sama antarnegara. Upaya ini merupakan tonggak penting menuju tata kelola siber global.
Konvensi juga berupaya mengatasi kesenjangan kapasitas digital antarnegara. Indonesia dan negara berkembang lainnya berpotensi diuntungkan dari transfer teknologi dan pelatihan.
Perdebatan besar muncul, apakah konvensi hanya mencakup kejahatan yang bergantung pada siber seperti peretasan dan malware, atau juga kejahatan yang didukung siber seperti penipuan digital.
Negara-negara Barat cenderung membatasi cakupan. Sementara negara lain seperti Rusia, China, dan India, menginginkan perluasan termasuk penyebaran disinformasi dan ujaran ekstremisme.
Baca juga: Tilly Norwood: Bintang Film AI Cantik yang Dikecam Hollywood
Perbedaan ini mencerminkan pergeseran ideologis antara pendekatan keamanan dan kebebasan berekspresi.