
PERETASAN siber terhadap infrastrukstur informasi kritikal (IIK) menjadi ancaman nyata. Serangan siber besar-besaran terbaru yang melanda sejumlah bandara utama di Eropa menjadi alarm keras bagi semua negara.
Kekacauan massal terjadi pascaserangan ransomeware dengan target bandara di Eropa, termasuk Bandara Heathrow, Berlin, dan Brussels yang memiliki sistem keamanan canggih.
Peristiwa yang memicu kerugian dan kepanikan itu dilaporkan BBC News dengan tajuk "EU Cyber Agency Says Airport Software Held to ransom by Criminals" (22/9/2025). Sistem check-in dan boarding secara otomatis disandera kelompok kriminal siber.
Menurut Badan Keamanan Siber Eropa atau European Union Agency for Cybersecurity (ENISA), perangkat lunak komputer jahat itu membuat bandara harus beralih ke prosedur manual selama berhari-hari.
Serangan juga memengaruhi ribuan komputer. Sebagian besar maskapai mulai pulih dua hari kemudian. Ratusan penerbangan terpaksa dibatalkan.
Beberapa bandara memilih melakukan proses check-in manual, sementara peluncuran ulang sistem juga terhambat karena peretas masih berada di dalam jaringan.
Ancaman terhadap sektor penerbangan global terus meningkat. Laporan terbaru dari Thales mencatat terjadi kenaikan yang mencapai 600 persen dalam satu tahun terakhir.
Baca juga: Mungkinkah AI Jadi Pemenang Hadiah Nobel?
Terkait fenomena ransomware, Akamai menurunkan laporan “Ransomware Report 2025: Building Resilience Amid a Volatile Threat Landscape”.
Laporan raksasa teknologi itu menyebut Black Basta, FunkSec, dan grup ransomware as a service (RaaS) lainnya telah mengadopsi AI dan mengembangkan taktik mereka, terutama dalam hal pemerasan.
Cara kerja para pelaku ransomware kini semakin canggih. Jika dulu mereka hanya mengenkripsi data dan meminta tebusan (double extortion), kini muncul cara baru bernama "quadruple extortion" yang melibatkan ancaman tambahan berupa penyebaran data, serangan DDoS, hingga ancaman hukum dan reputasi.
Data Akamai menunjukan, total uang kripto yang berhasil diperas dari korban mencapai sekitar 724 juta dolar AS setara Rp 11,7 triliun melalui jaringan malware TrickBot.
Teknologi seperti AI generatif (GenAI) dan model bahasa besar (LLM) membuat serangan ini makin sering terjadi. Penjahat tanpa kemampuan teknis tinggi kini bisa meluncurkan serangan kompleks contohnya kelompok FunkSec.
Ada juga tren baru, yaitu munculnya kelompok hacker campuran dalam bentuk ransomware-hacktivist hybrid seperti CyberVolk, Stormous, KillSec, DragonForce, yang menggabungkan motif politik dan ideologi dengan kejahatan finansial.
Beberapa kelompok seperti Head Mare, Twelve, dan NullBulge memakai LockBit untuk mengacaukan situasi politik, bahkan menyerang komunitas daring berbasis AI dan game online.
Selain itu, serangan cryptomining juga meningkat, hampir setengahnya menyerang organisasi nirlaba dan lembaga pendidikan. Sektor ini menjadi target karena memiliki daya komputasi besar, tapi sistem keamanannya lemah.
Forum Ekonomi Dunia menyelenggarakan annual meeting pada 14-16 Oktober di Dubai. Dalam siaran resminya “How to secure the digital future: Resilience, trust and leadership”, para ahli dari global future Councils bertemu dengan para pemimpin keamanan siber global untuk membahas tantangan yang saling terkait.
Di tengah pergeseran geo-ekonomi dan geopolitik sebagai dampak kemajuan teknologi yang pesat, kebutuhan akan pemikiran yang tangkas, kolaboratif, dan lintas disiplin semakin mendesak.
Untuk itu, WEF mempertemukan lebih dari 500 pakar dari kalangan bisnis, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan media, bersama dengan 150 pemimpin keamanan siber terkemuka dunia.
Keamanan siber kini menjadi bagian tak terpisahkan dari stabilitas global, ekonomi, dan sosial.
Baca juga: Tilly Norwood: Bintang Film AI Cantik yang Dikecam Hollywood
Pertemuan itu membahas bagaimana teknologi, geopolitik, dan ekonomi relevan dengan ketahanan digital dunia. Pesannya jelas bahwa keamanan siber bukan lagi masalah teknis semata, tetapi terkait dengan kepercayaan publik, tata kelola adaptif, dan kepemimpinan yang visioner.
Para ahli menegaskan bahwa kerentanan menyebar demikian cepat. Ledakan konektivitas, perangkat pintar, dan sistem AI, membuat satu kesalahan kecil saja dapat memicu efek domino global.
Serangan siber kini tidak lagi sekadar pencurian data, tetapi juga upaya manipulasi sistem vital terkait infrastruktur kritikal seperti sektor energi dan air dan IIK lainnya.