
Oleh: Frangky Selamat*
UDARA panas Jakarta di bawah terik matahari yang seakan membakar, menambah ruwetnya lalu lintas lantaran macet yang tak kunjung terurai.
Terbayang pengalaman lima tahun lalu ketika pandemi Covid-19 melanda dunia. Macet di Jakarta seolah sirna.
Kini kemacetan teramat parah hingga disebut “horor” menjadi hal yang sering terjadi. Masifnya penggunaan kendaraan pribadi dan masih kurang optimalnya penggunaan fasilitas transportasi umum selalu ditunjuk menjadi penyebab utama kemacetan.
Sesungguhnya pemerintah pusat dan provinsi tidak tinggal diam. Sejumlah kebijakan telah ditetapkan dan dijalankan.
Penambahan dan modernisasi armada TransJakarta telah dilakukan. Penambahan rute terus dijalankan.
Integrasi antarmoda semakin baik. MRT, LRT, dan BRT memberikan banyak alternatif rute. Memudahkan warga kota yang bepergian.
Berita survei global yang dilakukan Time Out memberikan angin segar. Survei yang dilakukan terhadap 18.000 responden dunia memperlihatkan Jakarta menempati peringkat ke-17 dari 50 kota dengan sistem transportasi publik terbaik di dunia.
Posisi yang lebih baik daripada Kuala Lumpur, Manila dan Bangkok. Jakarta hanya “kalah” dari Singapura.
Baca juga: Revolusi Ketenagakerjaan untuk Gen Z
Tidak hanya itu. Kebijakan lain juga telah ditempuh. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Instruksi Gubernur Nomor 6 Tahun 2025 juga telah mewajibkan penggunaan transportasi umum pada hari Rabu bagi pegawai Pemprov Jakarta. Kebijakan yang patut didukung, tapi efeknya seperti tidak terasa.
Kemacetan tetap menjadi pemandangan lumrah dan makin membelenggu warga kota. Capek di jalan, stres berkepanjangan dan penghamburan waktu serta tenaga yang tidak perlu.
Semestinya ada alternatif lain untuk mengurangi kemacetan selain fokus pada aspek transportasi.
Mengingat kondisi pada masa pandemi, tidakkah dipertimbangkan kembali menghidupkan work from home atau work from everywhere atau apapun namanya pada beberapa bidang kerja?
Tentu penerapan yang tidak seratus persen karena interaksi sosial secara langsung tetap dibutuhkan manusia.
Mantan CEO Google Eric Schmidt sempat mempertanyakan efektifitas kerja fleksibel, yang mementingkan work-life-balance, tapi tidak membuat organisasi lebih kompetitif.