KOMPAS.com - Mengunjungi kota Ende di Nusa Tenggara Timur bukan sekadar perjalanan wisata biasa.
Ini adalah perjalanan menelusuri jejak sejarah bangsa Indonesia, terutama menyangkut peran penting kota ini dalam perjalanan hidup dan pemikiran Bung Karno, sang proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia.
Ende bukan hanya menyimpan kisah pengasingan Soekarno oleh penjajah Belanda, tetapi juga menjadi saksi bisu kelahiran ideologi Pancasila, dasar negara Indonesia.
Baca juga: 4 Alasan Kenapa Ende disebut Kota Pancasila
Soekarno diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Ende dari 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Pengasingan ini, yang dimaksudkan sebagai hukuman politik, justru menjadi masa kontemplasi yang sangat penting dalam perkembangan pemikiran Bung Karno.
Bung Karno diasingkan bersama istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami dan Kartika, serta ibu mertuanya Amsi.
Jauh dari sahabat dan pendukung, di kota kecil ini Bung Karno memiliki waktu dan ruang untuk merenung secara mendalam mengenai nasib bangsa Indonesia.
Salah satu lokasi bersejarah yang wajib dikunjungi adalah Rumah Pengasingan Bung Karno di Kampung Ambugaga.
Rumah yang dibangun pada tahun 1927 ini kini difungsikan sebagai museum yang menyimpan banyak benda peninggalan Bung Karno, seperti biola kesayangannya, tempat tidur, kursi, hingga lukisan-lukisan hasil karyanya.
Baca juga: Taman Renungan Bung Karno di Ende NTT, Tempat Lahirnya Pancasila
Menurut juru pelihara rumah tersebut, Syafruddin, struktur bangunan masih dipertahankan seperti aslinya, menjaga keaslian suasana masa pengasingan.
Tak jauh dari rumah pengasingan terdapat Taman Renungan Pancasila, tempat Soekarno sering duduk di bawah pohon sukun untuk berpikir dan merenung.
Di sinilah Bung Karno merumuskan lima prinsip dasar negara yang kelak dikenal sebagai Pancasila. Di bawah pohon itu pula terdapat tulisan legendaris Bung Karno:
“Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.”
Meskipun pohon sukun asli tumbang pada tahun 1960, sebuah pohon sukun pengganti ditanam pada tahun 1981 dan tetap menjadi simbol penting dalam sejarah nasional.
Tempat ini menjadi pengingat bahwa ide-ide besar bisa lahir dari masa-masa sulit dan keterasingan.
Selama di Ende, Bung Karno juga aktif menulis naskah sandiwara. Tercatat sedikitnya 13 naskah tonil yang lahir selama masa pengasingannya, seperti Dokter Setan, Rahasia Kelimutu, Anak Haram Jadah, hingga Sang Hai Rumba.