KOMPAS.com - Sebanyak 997 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dalam aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025.
Polisi menjerat mereka atas berbagai dugaan tindak pidana, mulai dari perusakan, kekerasan terhadap aparat, serta pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Seperti diketahui, pada akhir Agustus 2025 terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah. Aksi bermula pada 25 Agustus ketika sejumlah kelompok masyarakat memprotes besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, aksi tersebut kemudian disusupi oleh perusuh yang melakukan perusakan fasilitas umum dan melakukan penjarahan.
Meski telah menetapkan 997 tersangka, namun beberapa pihak menilai polisi belum bisa mengungkap dalang di balik kerusuhan tersebut.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur melihat penetapan 997 tersangka tersebut justru mengaburkan pengungkapan dalang kerusuhan yang sebenarnya.
Sebab, beberapa aktivis dan orang yang kritis di media sosial justru ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka. Isnur menilai hal itu merusak demoksrasi dan membuat orang takut bersuara.
Berikut adalah beberapa fakta soal penetapan 997 tersangka oleh polisi dalam aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025:
Dikutip dari Kompas.id, dari total 997 tersangka yang ditetapkan oleh polisi, sebanyak 971 orang di antaranya dijerat dengan pasal pidana umum.
Pidana yang diterapkan adalah Pasal 160 dan 161 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang perusakan bersama-sama, hingga Pasal 187 KUHP mengenai pembakaran.
Sementara, 26 orang lainnya dijerat dengan pasal pidana UU ITE.
Adapun 997 tersangka tersebut merupakan bagian dari 6.719 orang yang sempat ditangkap oleh aparat gabungan di 15 Polda dan Bareskrim Mabes Polri saat terjadi kerusuhan.
Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Syahardiantono, secara umum para tersangka dianggap menghasut dan mengajak orang lain melakukan aksi kerusuhan.
Menurut polisi, tindakan itu dilakukan melalui poster, siaran langsung di media sosial, ataupun grup WhatsApp.
Total ada 295 anak di bawah umur yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Dari 295 anak yang berhadapan dengan hukum, 68 anak telah diproses melalui mekanisme diversi atau tidak melalui jalur hukum.
Sementara, 57 anak sudah masuk ke tahap dua atau dilimpahkan ke jaksa penuntut umum, 6 anak berkasnya sudah dinyatakan lengkap atau P21, dan 160 anak masih dalam tahap pemberkasan.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, saat ini terdapat 81 anak yang statusnya ditahan, sedangkan 214 lainnya tidak ditahan.
Sebagaimana sudah diberitakan Kompas.com, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, polisi harus mengkaji ulang apakah penetapan tersangka terhadap 295 anak di bawah umur itu sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA).
Menurut Anis, pendekatan SPPA mutlak harus dilakukan agar kepolisian tidak melakukan potensi pelanggaran HAM.
Dikutip dari Kompas.id, sejumlah aktivis ditangkap polisi karena dianggap melakukan penghasutan di media sosial. Misalnya Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen; serta staf Lokataru, Muzaffar Salim.
Mereka dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 45 A Ayat 3 UU ITE terkait dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik, dan atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong; dan Pasal 76 H, Pasal 15, dan Pasal 87 tentang Undang-Undang Perlindungan Anak.
Delpedro merupakan orang yang mengelola akun @lokataru_foundation, sementara Muzaffar mengelola akun @blokpolitikpelajar.
Adapun, salah satu unggahan yang dijadikan barang bukti adalah poster terkait posko aduan pelajar yang ingin mengikuti demonstrasi pada 28 Agustus 2025.
Syahdan Husein, admin akun "Gejayan Memanggil" juga ditangkap karena berkolaborasi dengan akun lain dan dianggap mengajak pada perusakan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menemukan dugaan penangkapan sewenang-wenang terhadap tiga orang perempuan yang ditetapkan sebaga tersangka.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih mengatakan, dari hasil pemantauan lembaganya tiga orang perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka ditangkap tanpa prosedur yang sesuai hukum.
Saat ini, dua orang ditahan di Polda Metro Jaya, sementara satu orang berada di Bareskrim Polri.
Menurut Dahlia, ketiga perempuan itu hadir di lokasi unjuk rasa dengan latar belakang berbeda. Ada yang sekadar menonton atau berada di sekitar lokasi aksi, namun mereka justru ikut ditangkap.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang