Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjadikan Kesalahan sebagai Laboratorium Belajar Siswa

KESALAHAN lebih sering diasosiasikan negatif, termasuk dalam dunia pendidikan. Banyak guru merasa tugasnya adalah memastikan siswa benar. Maka, setiap kesalahan cepat dikoreksi, siswa dihukum, bahkan sebelum siswa itu memahami mengapa mereka salah. Fenomena ini umum terjadi di sekolah-sekolah kita. Bahkan, tidak jarang guru melakukan tindak kekerasan atau diskriminasi terhadap siswa yang melakukan kesalahan.

Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia masih rendah dibanding rata-rata OECD. Salah satu penyebabnya adalah budaya belajar yang menekankan hasil yang benar, bukan proses berpikir (OECD, PISA 2022 Results, 2023). Padahal, kesalahan merupakan salah satu bagian penting dari proses belajar yang sejati.

Masalah utama muncul ketika sekolah lebih menghargai ketepatan daripada keberanian mencoba. Siswa terbiasa belajar untuk tidak salah, bukan untuk memahami. Psikolog pendidikan Carol Dweck (2016) dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success menjelaskan bahwa pola pikir tetap (fixed mindset) membuat seseorang takut gagal karena merasa nilai dirinya bergantung pada hasil. Sebaliknya, pola pikir berkembang (growth mindset) melihat kesalahan sebagai peluang belajar.

Jika sekolah terus menanamkan rasa takut salah, anak-anak akan kehilangan dorongan alami untuk bereksperimen, berpikir kritis, dan mengemangkan kreativitas. Budaya pendidikan kita terlalu berorientasi pada evaluasi angka. Guru sering menilai berdasarkan kesalahan yang tampak di kertas, bukan proses berpikir di baliknya.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, tugas guru bukan sekadar mengajar, tapi menuntun tumbuhnya budi pekerti dan kemandirian. Namun praktik di lapangan justru sering berlawanan. Siswa yang salah dikoreksi keras, sementara siswa yang diam dianggap lebih baik.

Dari perspektif neurosains, kesalahan adalah sinyal penting bagi otak. Penelitian yang dilakukan oleh Jason Moser dkk. (2011) di Michigan State University menunjukkan bahwa otak manusia belajar lebih kuat saat menghadapi kesalahan.

Ketika seseorang menyadari kekeliruan dan mencoba memperbaikinya, aktivitas otak di bagian anterior cingulate cortex meningkat. Ini menandakan proses pembelajaran yang lebih dalam. Dengan kata lain, setiap kesalahan adalah latihan yang memperkuat jalur berpikir dan meningkatkan daya ingat konseptual.

Kesalahan hendaknya menjadi laboratorium belajar, bukan dijadikan ruang rasa malu. Di sinilah peran guru menjadi penting, yakni bukan sebagai hakim, tetapi fasilitator proses penemuan. Belajar yang bermakna terjadi ketika siswa aktif bereksperimen dan merefleksikan hasilnya.

Guru yang bijak akan menahan diri dari memberi jawaban cepat, dan memberi waktu bagi siswa untuk menemukan sendiri penyebab kesalahannya. Proses ini memang lebih lambat, tetapi jauh lebih kuat menumbuhkan pemahaman.

Pembelajaran yang memberi ruang untuk salah tidak berarti tanpa aturan. Yang dibutuhkan adalah rasa aman psikologis di kelas. Amy Edmondson (2019) dalam The Fearless Organization menyebut bahwa “lingkungan aman psikologis” memungkinkan seseorang berani mengemukakan ide tanpa takut diejek atau dihukum.

Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti guru perlu menciptakan suasana empatik dan menghargai setiap usaha siswa. Ketika merasa diterima bahkan saat salah, mereka akan lebih berani berpikir terbuka, mengajukan pertanyaan, dan belajar dari kesalahan mereka sendiri.

Kritik yang membangun jauh lebih kuat daripada hukuman yang menakutkan. Sebuah studi oleh Hattie dan Timperley (2007) menunjukkan bahwa umpan balik yang fokus pada proses, bukan pada individu, dapat meningkatkan hasil belajar hingga 80%.

Guru bisa mengubah kalimat seperti “Kamu salah” menjadi “Apa yang bisa kamu ubah di bagian ini?”. Ucapan sederhana ini menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa terhadap proses berpikirnya sendiri. Mereka belajar bahwa kesalahan bukan akhir dari usaha, tetapi awal dari pemahaman baru.

Dalam praktiknya, guru bisa menerapkan pendekatan reflektif berbasis kesalahan. Misalnya, setelah ujian, siswa diminta menuliskan apa yang salah dari jawabannya dan bagaimana memperbaikinya. Pendekatan ini dikenal sebagai error analysis dan terbukti efektif meningkatkan kemampuan metakognitif siswa (Zhou & Wang, Journal of Educational Research, 2021).

Dengan cara ini, kesalahan tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, melainkan bahan riset bagi diri sendiri. Saat guru mengakui bahwa ia pun bisa salah, ia sedang menanamkan nilai kerendahan hati. Siswa belajar bahwa otoritas tidak berarti kesempurnaan, melainkan kesediaan untuk terus belajar.

Dalam belajar terjadi interaksi sosial. Ketika guru dan siswa sama-sama terbuka terhadap kesalahan, terbentuklah ekosistem belajar yang sehat dan dialogis. Solusi inovatif bisa dimulai dengan membangun budaya “merayakan kesalahan” di kelas. Misalnya, membuat sesi mingguan yang mana siswa berbagi kesalahan yang mereka temukan dan bagaimana mereka memperbaikinya.

Pendekatan seperti ini telah diterapkan di beberapa sekolah berbasis design thinking di Finlandia dan Kanada (Sahlberg, Finnish Lessons 3.0, 2021). Hasilnya, siswa menjadi lebih reflektif, percaya diri, dan berani bereksperimen tanpa takut gagal. Sekolah di Indonesia bisa mengadaptasi model ini sesuai konteks lokalnya.

Selain itu, teknologi pendidikan dapat menjadi alat bantu kreatif. Platform seperti Google Classroom atau Kahoot! memungkinkan guru memberikan umpan balik real-time dengan cara yang menyenangkan. Alih-alih menyoroti kesalahan sebagai kegagalan, sistem bisa memvisualisasikan perkembangan siswa dari waktu ke waktu.

Memberi ruang bagi siswa untuk salah adalah bentuk kepercayaan terhadap proses belajar. Guru sejati bukanlah yang membuat siswa selalu benar, melainkan yang mampu menumbuhkan keberanian siswa untuk berpikir, mencoba, dan gagal. Kesalahan adalah cermin bagi pertumbuhan. Jika siswa melakukan kesalahan, berarti ia sedang belajar.

https://www.kompas.com/edu/read/2025/10/28/061158371/menjadikan-kesalahan-sebagai-laboratorium-belajar-siswa

Bagikan artikel ini melalui
Oke