PENDIDIKAN sejatinya adalah cermin masa depan bangsa. Namun, cermin itu kini tampak retak. Ia masih memantulkan bayangan, tetapi kabur dan terdistorsi.
Kita melihat anak-anak berseragam putih abu-abu menenteng gawai, guru sibuk mengisi aplikasi digital, dan pemerintah menggembar-gemborkan “merdeka belajar”.
Namun, di balik gegap gempita jargon itu, wajah pendidikan nasional memperlihatkan luka lama yang belum sembuh ketimpangan, komersialisasi, dan kehilangan arah moral.
Konsep Merdeka Belajar yang diperkenalkan pemerintah sejak 2019 di bawah kepemimpinan Nadiem Anwar Makarim sejatinya mengandung semangat besar: membebaskan proses belajar dari belenggu birokrasi dan ujian nasional.
Namun, di lapangan, kemerdekaan itu sering kali hanya berhenti di tataran wacana. Banyak guru masih bingung menafsirkan maknanya.
Alih-alih merdeka, mereka justru terpenjara oleh administrasi yang menumpuk dan penilaian berbasis platform digital yang menekan kreativitas. Sampai sekarang hal tersebut masih menjadi momok.
Sekolah masih identik dengan rutinitas: absen, tugas, ujian, laporan. Pembelajaran yang seharusnya berpusat pada siswa (student-centered learning) sering tergantikan oleh pola mengajar yang monoton.
Padahal, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.
Namun, bagaimana mungkin semua itu tercapai jika guru dibebani kerja administratif yang menyita waktu mendidik?
Di beberapa daerah, guru bahkan dituntut menguasai teknologi pembelajaran daring tanpa pelatihan yang memadai. Ketika mereka gagal mengisi data di aplikasi Dapodik, mereka dicap tidak profesional.
Sistem yang semestinya mempermudah justru menindih kebebasan pedagogis yang dijanjikan. Ujungnya siswa jadi korban oleh sistem ini, akibat gurunya disibukkan dengan hal administrasi.
Baca juga: P2G Sebut Sebelum Ada MBG Beban Guru Sudah Sangat Banyak
Wajah pendidikan kita juga memantulkan ketimpangan yang mencolok antara kota dan desa. Di sekolah-sekolah unggulan di Jakarta, Bandung, atau Surabaya, pembelajaran sudah memakai smart classroom dan learning management system berbasis AI.
Namun di pelosok Sumatera, Kalimantan, atau Nusa Tenggara, masih banyak sekolah yang atapnya bocor, tanpa listrik, dan tanpa guru tetap.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan lebih dari 27 persen sekolah dasar di wilayah tertinggal belum memiliki akses internet memadai.
Sekitar 15.000 sekolah masih kekurangan guru, sementara distribusi tenaga pendidik belum merata. Di Papua misalnya, satu guru bisa mengajar enam mata pelajaran di tiga jenjang berbeda.